Mohon tunggu...
agung pamujo
agung pamujo Mohon Tunggu... -

Penulis buku, editor senior, event organizer dan media planner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jo(nan) dan Jo(ko Wi), Sudah dan Belum ....

26 Januari 2014   21:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SATU bulan belakangan ini, saya sering naik kereta komuter. Nyaris setiap hari. Dari tempat tinggal di Salemba, menuju kantor di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Dari atas kereta komuter itulah, saya bisa menyaksikan ’’sentuhan’’ dua tokoh hebat negeri ini. Keduanya sama-sama biasa dipanggil dengan nama berawalan Jo. Keduanya juga sama-sama populer. (Ignasius) Jonan dan Joko Wi(dodo)

Sentuhan Jonan yang tidak lain adalah adalah Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) --boleh dikata sudah kelihatan hasilnya. Tokoh yang dua tahun belakangan ini panen begitu banyak penghargaan itu, membuat saya senang, bangga sekaligus terharu.

Saat naik komuter, saya merasa senang bisa menikmati moda transportasi mirip di luar negeri. Cepat, nyaman dengan gerbong semua berpendingin, dan relatif lebih aman. Bangga rasanya saya bisa merasakan pengalaman yang selama ini saya nikmati kalau sedang di luar negeri.

Saat ini, jika Anda naik kereta komuter, tidak ada lagi gerbong yang panas dan pengap. Baik karena sirkulasi udara yang kurang karena tidak ada AC seperti beberapa komuter sebelum ini. Maupun, karena asap rokok. Ya, seperti juga pada seluruh rute kereta api –baik kereta komuter maupun kereta jarak jauh--, kini sama sekali tidak ada lagi penumpang yang bisa merokok. Jonan dan segenap kru-nya berhasil menerapkan larangan tidak boleh merokok di atas kereta dengan mutlak.

Kereta komuter juga menjadi lebih aman, karena Jonan berhasil melaksanakan larangan lainnya yang sebelumnya, nyaris tidak bisa terlaksana. Yakni, larangan naik dia atas gerbong kereta, larangan pedagang asongan masuk di kereta, termasuk larangan kereta berjalan dengan pintu dalam kondisi terbuka.

Bukan hanya itu. Stasiun kereta kini juga bak disulap, benar-benar berbeda sama sekali. Lebih bersih, lebih lega, dan terlihat moderen.

Ini karena Jonan juga sukses melarang pedagang asongan masuk peron. Bukan hanya pedagang asongan saja. Penjemput pun kini juga tidak bisa masuk peron. Termasuk, tukang ojek, sopir taksi, dan lain-lain.

Tentu bukan berarti tidak boleh ada pedagang, tukang ojek maupun sopir taksi di sekitar stasiun. Boleh, tapi dalam batas yang telah ditetapkan. Ya, di luar peron itu tadi.

Itu masih ditambah: pemberlakuan tiket elektronik berupa kartu tipis yang harus di-tap (ditempel ke alat pemindai) di pintu masuk peron. Benar-benar canggih, seperti di luar negeri. Meski, tentu tidak paling canggih.

Tentu saja, juga bukan berarti layanan kereta komuter sudah sempurna dan sepenuhnya nyaman. Untuk rute tertentu dan terutama pada jam-jam tertentu –terutama pada jam berangkat dan pulang kerja—kepadatan penumpang sungguh luar biasa. Sampai berdesak-desakan.

Tapi, di luar negeri juga begitu kok. Saya pernah naik kereta antartempat dalam kota sejenis komuter ini di London, Amsterdam, Kiev, Donetsk, juga Shanghai, Bangkok, Kuala Lumpur dan Singapura. Pada jam-jam tertentu juga berdesak-desakan. Saat nonton kejuaraan sepakbola Euro 2012 di Kiev dan Donetsk –keduanya di Ukraina--  bahkan saya sering ‘’tenggelam’’ di antara bule-bule berpostur raksasa mania bola dari berbagai negara Eropa.

Kepadatan luar biasa penumpang komuter di Jabodetabek ini antara lain karena dua hal.  Minat masyarakat yang makin tinggi untuk menggunakan layanan komuter –karena kini lebih nyaman, tapi lebih murah tarifnya. Kedua, PT Kerera Api Indonesia (KAI) lewat anak perusahaannya yang mengelola layanan komuter, juga terkendala dengan belum tuntasnya pembangunan underpass maupun flyover di jalur-jalur padat lalu lintas. Jonan dan staf-nya hanya bisa menunggu, karena kewenangan membangun flyover maupun underpass itu ada di Jo satunya: Joko Wi.

Toh, Jonan membuktikan sudah membuat perubahan. Dia sudah membuat perencanaan, dan sudah mewujudkannya, meski tanpa woro-woro  ke publik. Woro-woro itu istilah dalam bahasa Jawa yang artinya mengumumkan, menyebarluaskan.

Nah, sebaliknya yang terjadi pada Jo satunya itu. Seperti juga Jonan, Jo satu lagi yang adalah Joko Wi juga sudah membuat perencananaan. Bahkan, Joko Wi sudah mengumumkan ke publik secara terbuka.  Sudah woro-woro.

Pengumuman pertama sudah dilakukan bahkan sebelum Joko Wi memegang kewenangan sebagai gubernur DKI Jakarta. Saat masih masa kampanye, Joko Wi pernah berujar. ’’Masalah utama adalah banjir dan macet.’’ Dilanjut,’’Tapi sepertinya tidak susah-susah amat mengatasi dua hal itu.’’ Dilanjut lagi, ‘’ Saya sudah tahu caranya.’’ Ucapan-ucapan itu dimuat di media massa, saat itu.

Saat terjadi banjir pada awal tahun pertamanya menjabat –akhir Desember 2012 hingga awal 2013 lalu--, Joko Wi juga kembali woro-woro rencananya mencegah banjir pada tahun berikutnya. Tahun berikutnya itu  berarti tahun ini.

Antara lain rencana pengerukan sungai, pembuatan sudetan, revitalisasi waduk Pluit. Juga memindahkan warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung.

Namun,  di atas komuter itu, saat kereta melintas antara rute menuju stasiun Jatinegara, lalu ganti jalur ke Manggarai-Cikini--Gondangdia, yang terekam adalah ‘’belum’’. Sudah direncanakan, sudah di-‘’woro-woro’’-kan. Tapi, belum kelihatan hasilnya.

Dalam posisi berdiri di dalam gerbong kereta komuter yang sesak –tapi tetap nyaman karena gerbong tetap sejuk--, saya bisa melihat rumah-rumah yang terendam. Di beberapa kampung, bahkan rendaman air sampai mendekati atap.

Masih banyak juga warga yang berdiam di bantaran sungai. Dengan bangunan tempat tinggal seadanya dan tidak beraturan. Masih juga terlihat sungai yang penuh sampah.

Itu yang membuat saya geleng-geleng dari atas kereta komuter itu. Bahkan, saat tidak banjir pun, ada satu hal lagi yang terekam oleh mata saya, dan membuat trenyuh. Yakni, Di luar banjir itu, ada satu hal yang juga terekam dan membuat saya trenyuh, Yakni, perkampungan yang terlihat kumuh.

Kalau naik taksi –atau busway— dengan rute yang sama, pemandangan kumuh itu tidak akan terlihat. Antara Salemba menuju Thamrin pulang pergi, yang terlihat adalah deretan rumah bagus, gedung menjulang tinggi dan beberapa mall dan kafe yang megah.  Dari jendela taksi dan busway, Jakarta benar-benar megah dan moderen.

Tapi, di atas kereta komuter, kita akan melihat sebaliknya. Sangat kontras. Sangat beda, dan membuat bertanya-tanya: Betulkah Jakarta sudah baru.

Memang soal mengubah perkampungan kumuh tidak disebut dalam ‘’woro-woro’’ Jo yang asli Solo ini.  Banjir dan macet yang menurut Joko Wi  adalah dua masalah utama Jakarta.

Namun, menurut saya, perkampungan kumuh layak juga jadi perhatian. Apalagi, ternyata masih cukup banyak.

Tentu saja, kita harus adil, dengan tidak begitu saja membandingkan Joko Wi dengan Jonan. Jonan jadi Dirut KAI sudah lima tahun. Sebaliknya Jokowi, kini baru menginjak tahun kedua jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Karena itulah, saya memberi judul untuk Joko Wi: belum. Bukan tidak berhasil. Tapi, belum. Atau sedang. Ya, sedang.

Joko Wi, pasti sedang bekerja keras untuk bisa mengatasi banjir, macet dan juga perkampungan kumuh itu. Dia pasti sedang berpikir keras bagaimana mewujudkan solusi mengatasi masalah-masalah yang sempat dia sebut: “sepertinya tidak susah-susah amat ...”  itu.

Kita lihat di teve, baca di koran atau berita online:  dia tiap hari blusukan. Bahkan nyaris kerjanya ya blusukan tadi.  Melihat kondisi di lapangan, membuat rencana, lalu memerintahkan stafnya untuk melaksanakan rencananya.

Bahkan, meski rencana itu belum ---sekali lagi belum—terwujud dan menjadi solusi, sebagian masyarakat sudah dibuat kagum dengan rencana-rencana dan blusukanya itu tadi. Karena, nyaris semua media massa beramai-ramai serentak dan seragam memberitakan blusukan dan rencana-rencana Jokowi tadi. Benar-benar beramai-ramai, karena memang beritanya banyak sekali, luar biasa banyaknya.

Jonan juga butuh waktu untuk mewujudkan segala rencana perubahan yang ada yang menyebut dengan istilah  ‘’revolusi KAI’’ itu. Banyak rintangan, namun Jonan mampu memanfaatkan waktu untuk mewujudkan revolusinya itu.

Jadi, mari kita juga memberi kesempatan dan waktu kepada Joko Wi.  Mari kita terus berharap  Joko Wi terus bersemangat membuktikan apa yang pernah dia woro-woro itu.

Di atas kereta komuter itu, setelah menikmati sukses Jonan, saya begitu berharap Joko Wi juga sukses membenahi Jakarta.  Saya juga ingin punya rasa senang, bangga dan haru memiliki ibu kota yang tidak kalah dengan kota-kota besar lain di dunia.

Sempat kaget juga kok Joko Wi seperti pejabat sebelumnya yang lantas menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan hujan kala banjir tetap melanda. Namun, saya yakin, itu karena Joko Wi juga manusia yang bisa juga jengkel dan emosi.

Joko Wi sudah jadi gubernur Jakarta. Bahkan, sudah jadi tokoh yang menurut media massa disukai banyak orang. Sering diberitakan sebagai tokoh hebat. Tentu, dia tidak akan berlarut jengkel. Sebaliknya, dia pasti akan tertantang untuk mewujudkan rencananya yang sudah terlanjur di-woro-woro itu.

Jonan sudah membuktikan bisa dan berhasil. Kita tunggu Joko Wi juga sudah ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun