Mohon tunggu...
Pams Saniscara
Pams Saniscara Mohon Tunggu... -

... Tuhan tahu untuk apa ada goresan pena hitam pd kertas putih, bukan unt mengotori yg putih, tp unt memberi makna padanya, krna yg bermakna itu yg berwarna ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Sum di Pusara

6 Agustus 2013   12:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:34 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua hari ini Sumarijem berada di rumah ibu kandungnya. Dia lari dari rumah hasil keberaniannya di bidang politik. Dia menghilang dari kota Santri. Dia pilih menghilang tanpa lambaian tatapan mata, seperti asap yang lenyap diterpa air hujan. Dia teramat menghargai hidupnya sebagai harta daripada rumahnya sebagai benda pusaka. Dia tidak lari karena cemburu melihat tunangannnya mesra dengan perempuan lain, pun karena takut ancaman sebuah partai atau karena diteror tunangannya. Dia lari karena jengah dengan tunangannya dan hendak berani berdiri sendiri. Bukankah Rara Mendut juga berani melawan Wiraguna dengan tindakan sensual menjual rokok hasil isapan bibirnya yang marun?

“Sum, Sumarijem… masih betah di rumah?”

“Apa adanya Sum di sini membuat Ibu malu?”

“Kenapa harus malu. Ngawur kamu ini, Nduk”

“Lha kan sekarang Sum sudah banyak diberitakan di koran. Beritanya ‘Sum, Perampok Harta Calon Mertua’. Ya kan, Bu?”

“Oalah, Nduk. Itu kan berita, yang namanya berita ya tidak sempurna betulnya. Lagian, kamu kan orang politik, ya Ibu harus ikut waswas. Ibu tidak boleh dipengaruhi berita. Sekarang sudah zamannya perempuan berbudi, berintelek, berbebas tidak seperti zamannya Kartini itu”

“Ibu, kenapa juga sekarang jadi sok pinter. Sudahlah, Sum mau nonton tivi, ada berita pentingkah hari ini?”

“Sum, semoga tidak ada berita tentang dirimu, ya…”. Sum hanya mengangguk. Lamban dia menuju depan layar tivi. Ibunya, seorang penjual telur, hanya memandangi Sumarijem, anaknya yang kekasih.

Sum adalah seorang aktivis politik sekaligus anggota sebuah partai yang besar dalam Pemilu lima tahun lalu. Tentu, aktivis politik menjadi besar karena didaulat oleh partai, kalau partai merosot, popularitas aktivitasnya harus ikut merosot. Tunangan Sum adalah seorang anggota legislatif sebuah partai yang sedang melambung tahun ini. Mereka berdua bertemu ketika sedang rapat di sebuah gedung sosial. Baru beberapa minggu, lelaki itu mendekati Sum, Sum menerima tanpa suap walaupun partai mereka berbeda tonggak bahkan saling beroposisi. Dan, tersiarlah kabar Sum menerima pertunangan dari lelaki itu.

Namun, itu dua tahun lalu, sebuah masa ketika sebenarnya lelaki itu ingin merogoh harta Sum yang bejubel. Mungkin pula, hendak memberangus popularitas Sum di dunia politik. Sum telanjur cinta, entah cinta model apa yang dimaknai Sum. Segala sertifikat harta duniawinya berpindah dengan nama lelaki itu. Tidak cukup, Sum dipaksa melihat perselingkuhan tunangannya dengan perempuan lain. Perempuan itu satu partai dengan tunangannya. Sum jengkel, berontak dan brutal. Dia tidak berbuat sekecilpun pada perempuan itu -Dietje namanya- tapi membenci tunangannya sendiri.

Sum tidak menduga ternyata tunangannya telah bermain kasar padanya. Lelaki itu lebih sering menyetujui sesuatu berkaitan dengan korupsi. Katanya "Sum, mengapa kamu masih takut korupsi? Kamu takut sama Tuhanmu? Walah, terlalu suci kamu ini. Bukankah para koruptor itu juga kalau mati tetap sama, mereka semua kan dikuburkan dengan wajar. Bahkan, bekas pemimpin nasional kita pun seorang koruptor, toh dia malah hendak diagendakan sebagai pahlawan. Konformis sedikit itu memang penting di dunia politik". Sum hanya diam. Memang, dia beda agama dengan tunangannya itu. Dia terjun ke politik karena murni ingin berjuang, bukan untuk vested interest. Dia hendak meniru Inggid Garnasih sebagai istri setia seorang politikus kendati sudah diceraikan. Namun, tampaknya hal itu tidak akan pernah terjadi dalam Sum, karena lelaki yang dia cintai teramat beda dengan lelaki mulia pasangan Inggid. Dia juga tidak mampu mewujudkan bakal rumah tangga agamis seperti Siti Khadija dan Muhammad. Sum terlalu jengah dengan tunangannya, teramat benci dengan kelakuannya dan terimpikan untuk memutuskannya.

Akhirnya, Sum merasa pelariannya di rumah ibunya cukuplah seminggu saja. Di kota, karena rumahnya sudah ganti pemilik, dia menginap di kandang teman se-partai. Sum kembali menjalankan tugasnya sebagai anggota partai politik. Semua berjalan lancar. Sering pula dia melihat tunangannya dari jauh mesra dengan Dietje. Aneh, Sum tidak pernah cemburu melihat semua itu. Justru, dia semakin gencar melakukan aktivitas politik menentang ketidakbenaran.

"Aneh nggak sih Ven, kalau aku berjuang di partai menentang ketidakbenaran, aku seperti puas, serasa baru saja menginjak-injak laki-ku itu" tanya Sum pada Ven, temannya.

"Enggak aneh. Itu namanya perjuanganmu sudah mendarah daging"

"Tapi sampai membawa-bawa urusan pribadi ?"

"Namanya juga manusia. Yang penting kamu sudah mencoba menyadarkan laki-mu. Anggap saja itu memang salahnya dia". Sum mengangguk.

"Sum, aku setuju kamu menjauhi dia. Ini bukti kalau perempuan juga punya nyali. Tak selamanya perempuan itu lemah. Kamu tahu Dedes kan? Dari pelajaranku semasa kuliah, ternyata dia juga berandil membunuh Tunggul Ametung untuk membawa Arok sebagai raja. Aku rasa kamu juga berandil untuk mengungkap kelicikan laki-mu itu. Kalau kamu bisa, wah hebat. Seperti menggarami air tawar, berbuat sesuatu dengan kerja keras". Lagi, Sum mengangguk.

Namun, pertemuan dengan tunangannya tidak dapat dicegah karena urusan pekerjaan. Ketika mereka bertemu, Sum keukeuh mengalihkan pandang mata tapi tunangannya justru menatapnya dengan bengis. Seakan, pandangnya itu hendak menelanjangi Sum di hadapan publik. Sum merasakan suasana itu, tapi dia cuek. Sum hanya bertindak profesional dengan memberi perbedaan antara urusan pekerjaan dan pribadi. Berbeda dengan tunangannya, yang hendak mengumbar urusan pribadinya kepada pers.

“Sum, masih berani nongol juga kamu?” tanya tunangannya ketika agenda pekerjaan sudah selesai.

“Memangnya ada larangan bagiku untuk tenggelam?” ketus Sum.

“Belum gentarkah kamu dengan berita di media. Atau memang kamu sengaja hendak mempopulerkan dirimu lagi. Percuma, partaimu sudah keropos. Lebih baik kamu bergabung dengan partaiku ini. Akan lebih sempurna bagimu”.

“Oh, sempurna karena mendapatkanmu kembali dan bisa populer di bangsa ini. Bahkan, sempurna pula dalam melakukan tindak kriminal sistematis yang sering disebut korupsi itu? Aku peringatkan, percuma saja kamu mengajakku. Aku tidak akan mengotori politik dengan cara tak beradab seperti yang dimainkan oleh kalian”.

“Sum, apakah tawaranku kurang menggairahkan?”

“Bukannya kurang menggairahkan, tapi teramat bergairah. Maka, tolong katakan pada partaimu kalau mereka tidak lebih dari seonggok daging di pasaran yang harum tapi akan menjadi busuk setelah dibiarkan beberapa hari. Ingat, bau busuk itu akan menyengat dan akan tiba” kata Sum sambil melangkah cepat meninggalkan tunangannya. Terlihat, tunangannya memaki dalam hati. Mulutnya bicara tak jelas seakan mencapai klimaks dari sebuah kebencian.

Syahdan, beberapa hari kemudian Sum tidak pernah muncul lagi. Sum mengandangkan diri, mencari ketenangan dan membiarkan diri ambyur bersama orang lemah lainnya. Media tidak pernah akan menemukannya lagi. Entah, Sum hilang atau lenyap atau bahkan menjadi bagian dari banyak perempuan lain di dunia politik. Jelasnya, Sum mengakhiri sendiri jarak tempuh di partainya tanpa berbagai tanda. Tunangannya tidak pernah akan tahu kemana Sum melangkah. Sum bukan menyerah, bukan pula takut pada suaminya, bukan pula karena partainya keropos. Tidak, bukan. Dan tak akan pernah. Sum hanya muak dengan dunia politik yang ternyata mencengkeramnya untuk memanipulasi struktur rakyat. Sum tidak rela bila hanya bermanis ide tanpa mau menyentuh tubuh orang-orang yang menjadi sasaran kegiatan politik. Sum hanya ingin merasakan sejauh mana sulitnya orang melangkah ketika harus menyesuaikan diri dengan para pemimpin.

Dunia pun tidak akan pernah tahu kemana Sum pergi. Media hanya mengupas Sum, tokoh perempuan politik yang telah menghilang. Ada berita Sum dibunuh oleh tunangannya tapi bukti tidak ada, ada pula Sum lari karena kalah bahkan ada pula Sum bunuh diri.

Sum pergi, tapi tidak pergi jauh dari negeri. Sum hanya berganti pakaian dan spiritualitas. Sum ingin mencicipi, tinggal dan akhirnya menjadi rakyat biasa. Kelak, dunia akan menemukan pusara Sumarijem di tengah hamparan para biarawan. Malangnya, hanya beberapa orang saja yang akan tahu itulah pusara Sum, tokoh politik yang dicari karena menghilangkan diri. Seorang perempuan yang berhasil menghapus masa lalunya dan menggantinya dengan jalan hidup suci seperti para rahib di padang pasir Timur Tengah.

Batang,

6 Agustus 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun