Kembali berulang seperti tahun-tahun yang lalu. Setiap triwulan akhir tahun, perbincangan tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kembali memanas. Pada triwulan tersebut, besaran nilai KHL mulai dibahas. Nominal besaran KHL menjadi penting karena nominal KHL menjadi pertimbangan dalam menetapkan nilai upah minimum.
Pada dasarnya, keberadaan upah minimum adalah salah satu bentuk “campur tangan” dari pemerintah untuk mewujudkan kehidupan yang baik bagi buruh. UU No 13 Tahun 2003 ttg Ketenagakerjaanmemang tidak menjelaskan secara tegas mengenai pengertian upah minimum. Namun, disebutkan di pasal 89 bahwa upah minimum “dapat” terdiri dari atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (cermati kata “dapat”!).
Pasca diberlakukannya UU No 13 Tahun 2003 ttg Ketenagakerjaan, kebutuhan hidup layak diatur melalui Permenakertrans Republik Indonesia Nomor: PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang memuat 46 komponen kebutuhan hidup layak. Seiring berjalannya waktu, terbit peraturan baru berupa Permenakertrans Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang memuat 60 komponen kebutuhan hidup layak.
Berdasarkan pasal 88 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kebijakan pengupahan bertujuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kriteria ketentuan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 88 menjadi yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Alternatif Upah Minimum
Jika ditinjau secara normatif, rumusan perundang-undang yang mengatur tentang upah minimum sepertinya bisa memfasilitasi segala kepentingan para pihak yang terlibat didalam pengupahan (buruh, pengusaha, pemerintah). Namun, fakta yang ada masih banyak buruh yang turun ke jalan untuk menuntut kenaikan upah. Belum lagi, alotnya perundingan mengenai besaran KHL dalam proses penetapan upah minimum!
Dari peristiwa tersebut bukankah telah mengisyaratkan ada bagian dari sistem pengupahan yang tidak berjalan dan belum bisa mengakomodir kepentingan para pihak. Maka wajar jika kita mempertanyakan, apakah dengan sistem pengupahan menggunakan upah minimum sudah bisa mengakomodir kepentingan seluruh pihak yang terlibat?
Perlu diketahui, bahwa pemberlakuan upah minimum bisa tidak dilakukan oleh pengusaha melalui mekanisme penangguhan (dengan syarat-syarat tertentu). Sekalipun upah minimum ditetapkan, namun disisi lain masih bisa diabaikan. Disadari dan diakui atau tidak, sistem pengupahan dengan upah minimum jusru menimbulkan kecurigaan dalam hubungan industrial. Sistem seperti ini lah yang harus dibenahi!
menghapus upah minimum
Penulis mempunyai pandangan ekstrim, hilangkan sistem pengupahan menggunakan upah minimum sekarang juga! Mengapa dihilangkan? Keberadaan upah minimum sebagai aturan dalam pengupahan justru dapat menimbulkan dua cara pandang yang berbeda mengenai upah minimum. Ambillah contoh upah minimum di Kota X sebesar Rp 900.00,00. Cara pandang pertama, pengusaha menjadikan upah minimum (Rp 900.00,00) sebagai target. Jadi dalam melakukan pengupahan menjadikan upah minimum (Rp 900.00,00)sebagai nominal tertinggi dan batas aman untuk melakukan pengupahan.
Cara pandang kedua, pengusaha menjadikan upah minimum (Rp 900.00,00) sebagai batu pijakan dan pelecut agar bisa melakukan penggupahan lebih dari Rp 900.000,00. Jadi dalam melakukan pengupahan menjadikan upah minimum sebagai nominal terendah yang harus dibayarkan. Terlepas benar atau tidak analogi yang penulis sampaikan, keberadaan regulasi tentang pengupahan menggunakan upah minimum membuka dua ruang logika yang sederhana namun berimplikasi berbeda tersebut.
bagi hasil
Penulis menggagas bahwa sistem pengupahan dengan menerapkan “bagi hasil” dapat memecahkan kekakuan sistem pengupahan dengan upah minimum. Pasti timbul pertanyaan seperti ini: jika perusahaan mengalami keuntungan solusi tersebut tidak menjadi masalah, tetapi jika perusahaan mengalami kerugian apa yang harus dilakukan? Jawabnya mudah, kerugian juga ikut ditanggung bersama oleh buruh dan pengusaha. Bukankah untung dan rugi dalam usaha itu biasa?
Sistem pengupahan dengan menggunakan bagi hasil secara otomatis akan mendorong etos kerja buruh menjadi tinggi. Di sisi lain kemampuan dan kreativitas pengusaha untuk mengelola segala potensi perlu ditingkatkan ke level teratas. Kemampuan dan kreativitas pengusaha menjadi sangat menentukan hasil akhir. Dalam sistem bagi hasil, diperlukan profesionalisme yang tinggi diantara keduanya. Perumpamaan sederhananya, buruh sebagai sepeda dan pengusaha sebagai pengendara. Diperlukan sepeda yang bagus dan pengendara yang tangkas untuk menggerakkan laju sepeda agar tujuan bersama tercapai. Kalau berhasil sampai tujuan disebabkan atas usaha bersama, namun jika jatuh, maka akan ditanggung bersama.
Hal yang tak kalah penting dalam sistem bagi hasil adalah itikad baik dari pengusaha dan buruh. Kejujuran dan keterbukaansudah menjadi wajib hukumnya. Tanpanya, sistem pengupahan dengan bagi hasil hanya lah seperti upah minimum jilid II. Meskipun sistem pengupahan menggunakan bagi hasil membuka peluang yang besar untuk untung maupun rugi. Namun bukan kah hasil seperti itu akan lebih fair? Semoga permasalahan berkaitan dengan upah minimum segera teratasi. Amin!
“Pemikiran ini hanya lah ide dari seorang mahasiswa tingkat akhir yang mengambil bahasan upah minimum dalam skripsinya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H