Mohon tunggu...
Agung Pambudi
Agung Pambudi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Hukum UNS tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi. Mempunyai hobi mendaki gunung dan menulis. Beberapa artikel dan profil nya pernah nampang di koran. Bergabung ke kompasiana dengan tujuan menambah teman dan memperdalam ilmu Salam Tulis :D

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Antara Densus 88 Anti Terror, Intelijen, Masyarakat (Dimuat di Gagasan Halaman 4Harian Solopos, 2 September 2012 #belum diedit)

3 September 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:59 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polisi Solo di serang. Berawal dari penyerangan Pospam Simpang Gemblengan, Jumat (17/8/2012), berlanjut penyerangan pospam di Gladag Bundaran Gladak, Minggu (19/8/2012) dan terakhir penyerangan Pos Polisi Singosaren, Solo, Jawa Tengah, Kamis (30/8/2012) malam yang mengakibatkanBripka Data Subekti meninggal.Selang sehari setelah meninggalnya Bripka Data Subekti, kepolisian kembali kehilangan salah satu anggotanya, Bripda Suherman, anggota Densus 88 Antiteror karena terlibat baku tembak dengan “terduga” teroris di sekitar pusat perbelanjaan Lotte Mart, Tipes, Serengan, Solo sekitar pukul 21.30 WIB.

Serangan terhadap polisi di Solo, tentunya telah menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat. Polisi sebagai simbol keamanan saja bisa diserang, bagaimana dengan masyarakat sipil?

Disadari atau tidak, akibat adanya penyerangan terhadap polisi di Solo telah menimbulkan kekhawatiran dan berdampak kepada masyarakat, khususnya masyarakat solo dan Indonesia pada umumnya. Kekhawatiran bukan hanya dirasakan oleh masyarakat sipil. Briptu Kukuh Budiyanto, korban sekaligus saksi mata penembakan Pospam Gemblegan mengatakan, “Ada rasa trauma. Yang penting sekarang bisa beraktivitas lagi,” jelasnya kepada wartawan, di Satlantas Polresta Solo, Kamis (30/8/2012) (Solopos.com). Dari pihak sipil, mengutip wawancara Espos terhadap Ponco Akhiriyanto, Tour Manager Mandira Tour and Travel, “padahal semua sudah deal dan tinggal berangkat, tapi tidak jadi gara-gara kejadian itu. Terus terang kami khawatir juga kejadian tadi malam [Kamis, 30/8] (Solopos, 1 September 2012).!

Penghakiman berdasarkan dugaan

Ada fakta menarik mengenai tewasnya terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror pada Jum’at (31/8) kemarin. Timbul pertanyaan, dengan dua mayat terduga teroris, apa yang bisa diperoleh polisi? Meskipun ada “terduga” teroris yang bisa ditangkap hidup-hidup, dengan dua mayat “terduga” teroris, polisi tidak bisa mendapat informasi yang sahih dari mulut terduga teroris yang tewas tersebut.

Muncullah pertanyaan, apakah ini adalah sebuah bentuk dari peradilan terhadap “terduga” teroris? Perlu diingat, negara Indonesia adalah negara hukum. Jadi dalam bertindak, harus berdasarkan hukum, termasuk polisi. Saya sangat tidak setuju adanya aksi teror yang meresahkan masyarakat. Namun menembak mati terduga teroris bukan hal yang sepenuhnya bisa benar.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Densus 88 Anti Teror atas kinerjanya dilapangan, akan lebih elegan lagi jika Densus 88 Anti Teror bisa meringkus para terduga teroris dengan hidup-hidup. Lalu para terduga teroris tersebut diadili menurut hukum yang berlaku, bukan dengan dasar dugaan semata. Setelah itu dicarilah akar permasalahan mengapa melakukan aksi terror. Bukankah hal tersebut lebih bermanfaat daripada menembak mati”terduga teroris”? Toh Negara Indonesia bukan lah negara duga-duga!

Memaksimalkan fungsi intelijen

Dilain sisi, peran intelijen sangat penting. Penyerangan polisi sebanyak 3 kali kali waktu dekat ini, seharusnya menjadi bahan evaluasi pihak intelijen. Setelah disahkannya UU No17Tahun2011 tentang Intelijen Negara seharusnya Intelijen lebih bisa “bertaring” dalam bekerja.

Berdasarkanpasal 9, penyelenggara intelijen negaraterdiri atas:a. Badan Intelijen Negara; b. Intelijen Tentara Nasional Indonesia; c. Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia;d. Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan e. Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Badan intelijen Negara sebagai salah satu penyelenggara intelijen, mempunyai wewenang yang jelas mengenai terorisme. Berdasarkan pasal 31 UU No17Tahun2011 tentang Intelijen Negara. Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan: a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/ataub. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum. Dengan kewenangan sebesar itu, “kecolongan’ di Solo tidak perlu terjadi. Bukan bermaksud untuk menyalahkan, namun beranjak dari eristiwa ini intelijen harus segera berbenah!

Terlepas dari motif/alasan penyerangan terhadap polisi di Solo, lepas dari apakah kegiatan terorisme adalah sesuatu yang benar atau salah. Ada ungkapan menarik dari A.M Hendropriyono dalam bukunya berjudul “Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam”. Dalam bab mengenai logika bahasa terorisme beliau mengatakan bahwa: “Manusia hanya dapat mengetahui makna sebuah kata atau kalimat, bilamana manusia tersebut telah mengetahui dalam ruang ingkup mana kata atau kalimat terbut digunakan. Oleh karena itu, makna pemikiran pelaku terorisme, valid ataukah invalid, hanya dapat diketahui dan dinilai oleh lingkup atau lingkungan mereka sendiri. Dengan demikian, maka kebenaran yang terkadung didalam terorisme. Berada dalam diri mereka sendiri(A.M. Hendropriyono, 2009: 326)”.

Mencari akar masalah yang sesungguhnya harus segera dilakukan. Dibutuhkan peranan dari banyak pihak, baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan yang berkepentingan. Hanya dengan mencari akar permasalahan yang sebenarnya, permasalahan teror dapat diatasi. Hal tersebut tidak bisa dicapai dengan membunuh para “terduga” teroris!

Solo mempunyai masyarakat yang sangat plural, isu-isu sensitive bisa meningkatkan kecurigaan antar sesama masyarakat. Dan terror terhadap polisi di Solo harus dijadikan momentum bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. Bagaimanapun juga, tanggung jawab keamanantidak hanya berada dipundak aparat keamanan saja, namun menjadi tanggung jawab bersama. Solo Damai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun