Mohon tunggu...
Gendis Pambayun
Gendis Pambayun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan peramai dunia dan pengedukasi kesehatan jiwa

Seorang penyuka makanan pedas, penyuka seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal

25 Oktober 2018   16:41 Diperbarui: 25 Oktober 2018   16:43 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaduh menguasai susut-sudut hati. Gemuruh amarah mengendap dalam tunggu. Mendung menggayut di wajah nan ayu. Tertunduk lesu pucat pasi, bak mentari tertutup gumpalan awan yang ternoda tinta hitam. Sesak didada mendorong sebening kristal keluar di sudut mata.

"Betapa bodohnya aku. Hanya karena rasa malu aku menjadi pembunuh. Akulah pembunuh," maki hati Dyah kepada dirinya sendiri.

Gejolak hati meratap pilu. Geliat resah bergerak cepat. Bibir tipis terbungkam pasi. Ketokan palu meja hakim, membuyarkan lamunan.

"Kepada terdakwa Ayu Dyah Kusumawati, dikenakan sanksi atas perbuatannya membunuh dengan kesengajaan. Sembilan tahun penjara ditambah tiga tahun masa percobaan. Maka, keseluruhannya adalah duabelah tahun," Jaksa penuntut membacakan sanksi keputusan Hakim.

Pengunjung sidang bubar. Ruangan hening, tinggal beberapa orang yang masih di dalam. Dyah terisak pilu, tidak sanggup Ia mendongakkan kepala. Persendiannya serasa lepas. Masa remajanya habis di dalam penjara. Isak tangis tidak dapat mengembalikan keadaan seperti kemarin. Perbuatannya membuangbayi yang baru dilahirkan di toilet dan memasukkannya ke dalam closed kini terbayar.

Tiba-tiba bahunya merasakan hangat sentuhan jemari. Tangan kekar membantunya bangkit dan memeluknya erat. Lelaki setengah baya, berdiri dihadapannya, Pawit laki-laki yang sudah lima tahun menjadi kekasihnya. Ia mencoba menguatkan Dyah gadis delapan belas tahun, yang membunuh bayinya.

"Sayang, kuatkan hatimu. Aku akan tetap menemanimu. Akan ada banyak waktu untuk kita bertobat," ucapnya getir.

"Maafkan aku, mas. Maafkan aku. Aku malu karena kita belum menikah. Aku malu saat itu, hingga tidak terpikirkan akibatnya seperti ini," sambil terisak Dyah meratapi kebodohannya.

"Sudahlah. Semua sudah terjadi, jalani apa pun yang harus kamu jalani. Aku menunggumu, ku bantu doa untuk menguatkanmu," ucap lelaki setengah baya yang memeluk erat kekasihnya.

Disudut ruang sidang sang ibu pingsan. Dan, ayahnya termanggu dengan tatapan kosong.

(Terinspirasi dari kisah nyata)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun