Apakah kamu menyadari, bahwa pilihan makananmu sehari-hari tidak hanya memberikan pengaruh terhadap tubuhmu sendiri, tapi juga lingkungan di sekitar, dan bahkan planet bumi? Pengaruh makanan terhadap kesehatan tubuh umumnya dapat diketahui secara langsung dan lebih mudah diamati, sedangkan pengaruh makanan terhadap lingkungan lebih sulit untuk dilihat karena bersifat tidak langsung. Makanan yang kita konsumsi di piring telah melewati serangkaian proses panjang, mulai dari penanaman dan pemanenan produk pertanian hingga pengolahan, produksi, dan distribusinya. Akhir-akhir ini, proses pengolahan dan produksi makanan (food processing and manufacturing) bahkan menjadi semakin kompleks hingga menghasilkan makanan yang disebut makanan ultra-proses.
Menurut NOVA (sistem global yang mengelompokkan produk makanan berdasarkan seberapa banyak proses yang telah dilalui), makanan ultra-proses (Ultra-Processed Food) adalah produk makanan dan minuman yang diproduksi secara industri menggunakan bahan dan zat tambahan, sering kali hanya mengandung sedikit makanan utuh atau bahkan tidak ada sama sekali. Contoh umum dari Ultra-Processed Food (UPF) meliputi biskuit, permen, nugget, sosis, minuman bersoda, margarin, serta berbagai makanan siap saji lainnya. Banyak faktor yang membuat masyarakat memilih UPF, misalnya harga yang seringkali lebih murah dibandingkan dengan makanan segar dan utuh. UPF juga memiliki masa simpan lebih lama, tidak perlu banyak persiapan untuk menikmatinya, dan lebih menarik karena rasanya yang lezat dari gula, garam dan zat aditif lainnya. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi UPF terus meningkat seiring dengan perkembangan globalisasi dan industrialisasi di seluruh dunia. Bahkan selama pandemi COVID-19, frekuensi konsumsi UPF diketahui mengalami peningkatan di semua kalangan usia. Padahal penelitian menunjukkan bahwa tingginya konsumsi UPF terkait dengan peningkatan risiko berbagai penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, sindroma metabolik, obesitas, depresi, dan kanker.
Lalu apa saja dampak konsumsi makanan ultra-proses (UPF) terhadap lingkungan? Lebih dari 1/3 bagian emisi gas rumah kaca di seluruh dunia dihasilkan oleh produksi makanan, dimana bahan makanan sumber protein hewani seperti daging sapi, domba, udang, ikan, babi, unggas, dan telur adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca per kilogram produk makanan tersebut. Peternakan hewan yang dilakukan secara besar-besaran menggunakan energi secara berlebihan. Pemurnian produk, pemrosesan tambahan, dan pengemasan bahan juga menggunakan energi ekstra yang berakibat meningkatnya emisi gas rumah kaca. Botol, wadah, bungkus, dan kemasan lainnya dari produk ultra-proses menghasilkan sampah dalam jumlah besar, sebagian tidak dapat terurai secara hayati. Kemudian distribusi produk UPF seringkali melibatkan perjalanan transportasi yang panjang, sehingga menggunakan energi tak terbarukan dalam jumlah besar dan berkontribusi pada perubahan iklim. Seluruh dampak lingkungan dari rantai pasokan penuh, mulai dari proses hulu di titik produksi hingga produk siap disajikan dapat merusak habitat dan mengancam lebih dari 70% burung dan mamalia yang terdaftar sebagai spesies terancam punah.
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan semakin meningkat. Hal ini mendorong munculnya tren di kalangan pemerhati lingkungan untuk kembali mengonsumsi makanan organik, pangan lokal, hingga real food. Diketahui bahwa real food dapat mengurangi emisi gas rumah kaca karena menurunkan kebutuhan transportasi dan penyimpanan jangka panjang. Sebuah studi menyatakan bahwa konsumsi makanan yang dihasilkan secara berkelanjutan, terutama yang berbasis tumbuhan, dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 70%. Real food juga berkontribusi pada pengurangan sampah plastik yang mencemari lingkungan karena biasanya tidak dikemas dalam plastik berlebihan seperti UPF. Konsumsi makanan lokal dari petani mendukung pertanian yang berkelanjutan, menjaga kualitas tanah, air, dan ekosistem secara keseluruhan.
Real food di Indonesia diartikan sebagai makanan yang paling mendekati bentuk dan keadaan aslinya tanpa banyak perubahan. Jika menilik klasifikasi NOVA, maka real food masuk dlm kategori makanan utuh yang tidak diproses atau diproses secara minimal, misalnya buah segar yang diperas, jagung yang direbus, daging utuh maupun fillet yang dibekukan tanpa tambahan garam atau minyak, kacang-kacangan yang direbus, teh dan kopi tanpa tambahan gula. Banyak sekali manfaat kesehatan yang bisa diperoleh dari mengonsumsi makanan yang tidak melalui banyak pengolahan dan bahan tambahan. Penelitian menunjukkan bahwa pola makan berbasis real food dapat mengurangi tekanan darah, kolesterol LDL, dan peradangan, yang semuanya merupakan faktor risiko utama penyakit jantung. Buah, sayuran, dan makanan yang rendah gula tambahan dapat membantu mengontrol berat badan dan mencegah obesitas dengan mencegah makan berlebihan karena kandungan serat yang tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan penurunan risiko diabetes tipe 2 dan sindroma metabolik. Sayur dan buah juga kaya akan antioksidan, polifenol, dan fitokimia yang bersifat melindungi sel tubuh dari kerusakan oksidatif dan mengurangi risiko kanker. Kandungan vitamin dan mineralnya juga dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh, membantu melawan infeksi, dan mempercepat pemulihan. Bahkan ikan, kacang-kacangan, dan biji-bijian utuh mengandung banyak omega-3 yang dapat memberi efek positif terhadap kesehatan mental. Beberapa penelitian menyebutkan pola makan real food berkaitan dengan penurunan risiko depresi dan gangguan mood. Diketahui bahwa penyakit jantung, kanker, diabetes, dan depresi merupakan penyakit dengan peringkat tertinggi penyebab kematian di Indonesia.
Setelah membandingkan dampak lingkungan dan efek kesehatan dari UPF dan real food, seharusnya sudah jelas bagi kita untuk memutuskan pilihan makanan mana yg lebih baik. Untuk itu ada beberapa upaya yang bisa kita usahakan untuk beralih dari UPF ke real food. Yang pertama, buatlah perencanaan menu mingguan lalu buat daftar belanja untuk menghindarkan kita dari belanja UPF secara impulsif. Daripada membeli lauk UPF, lebih baik membeli daging di penjual lokal, olah sendiri dalam jumlah banyak, lalu simpan untuk dikonsumsi beberapa hari ke depan. Cara ini dapat menghemat waktu dan memastikan santapan kita adalah makanan sehat. Kita sebaiknya pilih produk makanan yang sedang musim karena lebih murah dan segar. Selanjutnya dibandingkan membeli produk UPF dari toko daring, membeli produk segar di pasar terdekat tentu lebih baik. Kemudian upayakan untuk tidak membuang makanan karena energi dan sumber daya alam yang digunakan untuk produksi menjadi sia-sia, lalu sisa makanan yang kita buang menambah produksi gas rumah kaca di lokasi pembuangan sampah. Kebiasaan konsumsi UPF bisa kita ubah secara bertahap dengan cara kurangi atau ganti satu UPF dengan real food setiap harinya. Cari resep makanan yang sederhana, cepat memasaknya, dan yang terpenting kita suka rasanya sehingga memudahkan dalam peralihan dari UPF.
Dampak makanan olahan terhadap lingkungan sudah tidak dapat diabaikan lagi. Sudah menjadi kewajiban untuk mendorong perubahan seiring dengan meningkatnya kesadaran kita terhadap produk yang kita konsumsi dan proses yang terlibat dalam produksinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H