Rasanya sudah tak ada harapan lagi di bumi Indonesia. Mungkin terkesan sangat lebay dan putus asa. Hanya saja, seakan-akan kita tidak dapat menyangkal semua fakta-fakta yang mengarah kepada opini ini.
Bagaimana tidak, negara ini telah dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mementingkan isi perut sendiri. Dari birokrat di pemerintahan sampai para politisi-politisi di legislatif. Semuanya sama saja.Partai yang paling dicap bersih pun akhirnya takluk kepada kekuasaan dan uang.
Sebut saja si fulan, seorang cendekiawan muda. Dulunya mantan aktivis, menentang orde baru dengan kerasnya. Terkenal memiliki idealisme yang kuat dan sangat relijius. Di luar negeri sana pun dia tak ada henti-hentinya menjadi aktivis. Sehingga namanya sedikit melegenda di komunitasnya.
Setelah menempuh pendidikan di luar negeri, dia pulang ke tanah air tercinta. Dengan bekal ilmunya, berharap bisa berbuat banyak bagi negeri ini. paling tidak di bidang keilmuan yang telah dikajinya.
Alkisah, selain berkiprah di dunia akademik, cendekiawan ini juga ingin melebarkan sayap kemandiriannya dengan mendirikan perusahaan. Sebuah cita-cita yang sangat baik di tengah keterpurukan krisis dan kurangnya wirausaha di negeri ini.
Si Fulan pun memilih berkiprah di di bidang pengadaan barang dan jasa. Yah, mungkin pikirnya supaya bisa dapat untung lebih besar, terlebih lagi pergerakan ekonomi Indonesia memang bertumpu pada sektor ini. Ternyata begitu kagetnya si ilmuwan ini bahwa ternyata dia harus ikut berbecek-becek ria dalam permainan-permainan kotor di bidang pengadaan jasa. Hampir tidak ada pengadaan barang dan jasa, terutama yang dilakukan pemerintah, tanpa kongkalikong. Apalagi jika jumlahnya mencapai 1M ke atas.
Pernah dia mendengar kisah, jika semua projek 1M ke atas merupakan titipin para politisi DPR yang didukung oleh pengusaha kroninya. Sudah sering terjadi, untuk tidak mengatakn selalu, para pengusaha melobi anggota DPR agar bisa menggolkan Projek besar yang sejak awal telah diatur agar si pengusaha inilah yang akan mendapatkannya. Tentunya dengan imbalan bagi hasil dengan si anggota DPR. Terlebih lagi semua orang juga tau kalo anggota DPR butuh uang untuk menyokong partai dan timnya. Lengkap lah sudah persayaratan untuk menjalin simbiosis mutualisme yang merugikan anak bangsa ini. Terlebih lagi hal ini diperparah oleh mark-up anggaran projek. Seperti yang kita ketahui, ketua KPK pun mengatakan bahwa potensi kerugian negara yang disebabkan oleh pengadaan barang dan jasa pada umumnya berkisar 30%. Betapa besarnya uang rakyat yang dirampok dan digunakan tidak pada tempat.
Tidak heran jika masih banya sekolah rusak yang tidak kunjung diperbaiki. Masih banyak warga negara yang belum bisa membaca di pelosok-pelosok daerah tertinggal. Betapa rakusnya para kontraktor yang bangga atas kekayaan mereka yang semuanya diperoleh dengan cara-cara tidak etis. Yang lebih parah lagi, anggota DPR pun dengan senang hati membantu dengan syarat uang saku. Ckckckckckc.
Akhirnya si fulan terpaksa mengikuti "prosedur rimba" yang berlaku, namun dengan berusaha semaksimal mungkin menjadi pihak yang paling tidak kotor. Dia mengatakan terpaksa melakukan ini dengan tujuan dapat mencapai cita-citanya membangun pusat penelitian yang produknya bisa berhilir ke industri.
Kalo sudah begini, bagaimana mau menjadi warga negara Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H