Rasanya miris melihat nasib anak bangsa ini.
Di abad ke 21 ini masih saja pemerintah dan sebagian anak bangsa ini tidak mempercayai sebuah teorema yang telah terbukti kebenarannya, yaitu, "Investasikan uang, tenaga, dan, pikiranmu pada pendidikan (ilmu pengetahuan), niscaya engkau menjadi bangsa yang besar".
Mungkin sudah jelas fakta yang terlihat di muka bumi ini, para negara maju (dalam kurun 50 tahun terakhir) seperti USA, Inggris, Jerman, Jepang, China, Australia, Korsel, Israel, Singapore, dsb telah menjadikan bangsa mereka sebagai pelaku utama dalam peradaban dunia. Dan akan ada satu hal yang menjadi pondasi mereka dalam membangun bangsa, yaitu pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang juga diiringi pemerataan akses terhadapnya bagi semua warga negara.
Di saat negara2 maju tersebut sedang berlomba-lomba alam pengembangan Iptek (eksakta maupun sosial) menuju masyarakat sejahtera berlandaskan IPTEK, pemerintah negara ini masih saja dipusingkan dengan urusan bagi-bagi kekuasaan di kancah perpolitikan. Bukan bermaksud untuk menafikkan pentingnya politik, hanya saja bangsa ini sudah terlalu mabuk dengannya dan sampai lupa dengan pengembangan dan pengawasan pendidikan.
Walaupun pemerintah telah mengklaim bahwa anggraan pendidikan telah mencapai 20%, apakah serta merta permasalahan berakhir? Jawbannya adalah TIDAK. Walaupun anggaran berlimpah, sayangnya anggaran ini tidak tepat sasaran, malah penggunaanya sebagian besar berorientasi projek, bukan berorientasi program.
Peningkatan kesejahteraan guru melalui peningkatan gaji bagi yang bersertifikat telah disalahgunakan dengan menggunakan cara-cara instant unutk memenuhi persyaratannya seperti melakukan plagiat karya tulis. Benar-benar memprihatinkan, bagaimana mungkin tidak akan muncul para plagiator yang banyak di masa yang akan datang karena ternyata para pahlawan tanpa tanda jasa telah memperlihatkan praktik-praktik kecurangan.
Belum selesai sampai di situ, masalah yang lebih besar muncul di tingkat perguruan tinggi dan pusat penilitian. Dana penilitian di PT dan pusat penilitian sangatlah sedikit, sehingga tak heran banyak mahasiswa/i dan peniliti jenius memilih untuk hengkang ke luar negeri. Pemerintah tidak punya kepercayaan pada kecerdasan bangsa sendiri dan tidak mau menanggung risiko investasi pada bidang penelitian. Pemerintah hana mau menjadikan negara ini negara pasar pengguna teknologi dan tidak ingin warganya menjadi penghasil teknologi. Warga negara Indonesia cukup jadi penonton bodoh yang latah menggunakan iPhone hanya untuk sms dan chatting saja, Pemerintah hanya berani berinvetasi pada surat-surat berharga yang bodong milik Robert Tantular.
Sudah saatnya kita berubah. Sudah saatnya presiden berinvestasi pada sektor pendidikan-Iptek. Kita tidak ingin hanya jadi figuran di dunia ini. Atau menjadi penggembira G-20 yang semu, yang warga negaranya masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak berpendidikan. Atau mungkin hanya menjadi bangsa yang kerjanya hanya nostalgia dengan kehebatan masa majapahit dan perang kemerdekaan pake bambu runcing.
Bangsa ini harus memilih menjadi Aktor Utama....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H