Proses seleksi calon hakim agung (CHA) telah memasuki tahap wawancara, yang berlangsung sejak 20-29 Juli 2011. Para panelis dalam tahapan ini dilakukan para komisoner Komisi Yudisial (KY) dan para pakar hukum. Mereka terdiri, adalah Eman Suparman, Imam Anshori Salah, Suparman Marzuki, Taufiqurrahman Syahuri, Abbas Said, Ibrahim, Jaya Achmad Jayus. Lalu, para pakar Prof Aruef Sidarta dan Abdul Muktie Fajar.
Proses seleksi CHA saat ini menjadi sangat krusial karena munculnya kasus korupsi yang menjerat beberapa hakim. Sebut saja Hakim Syarifuddin dan juga Hakim Imas Dianasari. Bahkan kasus Hakim Imas Dianasari diduga melibatkan Hakim Agung. Hal ini disampaikan Imas melalui penasihat hukumya Jhon Elly Tumanggor.
KY dan para pakar hukum harus tegas dan serius dalam menyeleksi semua CHA yang ada. Jangan sampai meloloskan hakim yang punya track record kurang bagus dan juga memiliki bibit koruptor di dalam dirinya. Oleh karena itu KY harus terus memantau aliran dana setiap rekening CHA untuk mengetahui kemurnian kekayaan mereka. Peran PPATK dalam investigasi rekening CHA ini sangat penting.
Dari hasil temuan KY ada beberapa hakim yang punya rekening menggiurkan. Salah satunya adalah Calon Hakim Agung, Daming Sunusi, yang memiliki harta sebesar Rp 1,9 Miliar. Meski Daming memberikan alasan bahwa dia punya usaha perikanan dan perkebunan kekayaan sebesar itu patut dipertanyakan. Apalagi jika melihat gaji dan tunjangan seorang hakim.
CHA Made Rawa Aryawan juga dibombardir pertanyaan panelis Komisi Yudisial (KY) terkait uang jaminan perkara Rp 4 miliar dalam kasus pencemaran lingkungan oleh kapal berbendera Yunani, MT Panos, di Balikpapan, Kalimantan Timur. Namun, Made membantah dan bersumpah demi Tuhan bahwa dia tidak menerima sepeser pun uang dari uang jaminan tersebut.
Menanggapi masalah seleksi CHA bersih dari calon koruptor, Profesor Emiritus Universitas Airlangga (Unair), Surabaya JE Sahetapy memberikan catatan. "Calon Hakim Agung itu jangan pernah nyontek. Karena mencontek itu bibit-biit korupsi," kata JE Sahetapy. Kebiasaan buruk inilah yang menurut Pak Sahetapy menjadi bibit kebiasaan korupsi. Menurutnya, kaya dan kehidupan sederhana bukan jaminan seorang hakim untuk tidak korupsi.
Pendapat Pak Sahetapy ada benarnya juga. Kebiasaan korupsi tidak dihasilkan dari harta yang kaya ataupun sederhana. Kebiasaan korupsi awalnya dimulai dari kebiasaan mencontek. Hal inilah yang membuat orang terlatih untuk berbuat curang secara bersama tanpa ketahuan. Kita juga bisa melihat orang yang kaya ataupun sederhana kehidupannya terjebak korupsi.
KY harus semakin jeli melihat setiap kebiasaan buruk yang pernah dilakukan oleh CHA. Kepercayaan publik kepada hukum dipertaruhkan dalam seleksi ini. Jika KY salah memilih maka hukum 4 tahun berikutnya akan bermasalah. Hakim Agung semakin banyak yang tarjangkit penyakit korupsi dan hukum semakin tidak dipercayai.
Apakah anda pernah mencontek?? Ubahlah kebiasaan anda itu. Jika tidak maka anda adalah orang yang memiliki kebiasaan menyelewengkan uang negara atau perusahaan. Alasan membenarkan tentu saja adalah. "Namanya juga Usaha!!".
Selamat Pagi Kompasianer...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H