Akhirnya kasus Prita berujung kepada pertanyaan betulkah Prita melanggar Undang-undang (UU)? Pertanyaan ini mengemuka ketika Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebutkan, keluhan Prita Mulyasari kepada Rumah Sakit Omni Internasional dijamin undang-undang. Juru bicara BPKN, Gunarto, di Jakarta, Selasa (12/7/2011), mengatakan, "Keluhan yang dikemukakan Prita di internet atas layanan Rumah Sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dijamin oleh undang-undang." Undang-undang yang menjamin keluhan konsumen adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak 20 April 2000. Dalam UU tersebut, konsumen memiliki sejumlah hak yang dijamin, di antaranya hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan, serta hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. (kompas.com)
"BPKN mempertanyakan hal ini karena pada dasarnya keluhan Prita tersebut bukan tanpa hak. Di samping itu, yang disampaikan juga bukan sesuatu yang bersifat fitnah. Prita Mulyasari benar-benar konsumen yang merasakan ketidakpuasan atas pelayanan konsumen," ujar Gunarto. Oleh sebab itu, lanjut Gunarto, hakim agung semestinya dalam memutuskan perkara tidak hanya melihat dari satu UU, tetapi juga melihat dari UU lain. Terkait dalam hal ini adalah UU No 8/1999 tersebut. Dengan vonis yang diterima Prita, lanjutnya, akan membuat konsumen lainnya takut untuk menyuarakan keluhan yang pada akhirnya akan selalu menjadi obyek semena-mena pelaku usaha produk barang dan jasa. (kompas.com)
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya juga menekankan pentingnya penahanan Prita ditangguhkan dan juga merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE memilik intepretasi yang kurang jelas sehingga dapat menyebabkan multi tafsir serta berbenturan dengan UU lain dan bahkan UUD 1945 yang lebih tinggi. Putusan Hakim Agung yang memutuskan Prita bebas secara perdata dan bersalah secara pidana saja sudah menimbulkan polemik, apalagi jika ternyata Hakim Agung salah mengambil keputusan. Jika Hakim Agung ternyata salah mengambil keputusan dan tidak teliti mempertimbangkan UU lain, maka sangat wajar jika kualitas hakim (bahkan Hakim Agung) mulai dipertanyakan.
Persoalan munculnya UU yang berbenturan dengan UU lain juga menjadi persoalan besar negara ini. UU yang kurang tepat membuat kita juga mulai bertanya-tanya kualitas legislator kita. UU yang berfungsi sebagai instrumen hukum jika berbenturan dengan UU lain dan memiliki multi tafsir hanyalah akan memandulkan UU tersebut. Perlu dipertimbangkan merevisi UU ITE atau jika perlu dicabut saja pasal yang kurang tepat.
Saya berharap kasus Prita ini sekali lagi menjadi cerminan dan juga cambuk bagi lembaga Yudikatif dan Legislatif serius dalam memainkan peranannya masing-masing. Jika terjadi kesalahan sedikit saja akan mengakibatkan kesalahan fatal dalam implementasinya. Jangan sampai hak rakyat yang ingin dilindungi melalui UU malah dipasung oleh UU.
Bagaimana menurut anda? Salahkah Prita dari sisi hukum? Mengapa UU kita bisa berbenturan seperti ini?
Salam UU bingung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H