Sunyi…
Hanya ada suara jangkrik-jangkrik yang sahut-sahutan seperti sedang menanggapi indahnya malam. Takut, tapi tetap melaju terus, sepertinya kedua kakiku tak terhentikan. Langkah demi langkah jantungku memburu. Ya, memburu langkahku. Tak ku tengok kanan kiriku. Sepertinya rumahku sangat jauh. Sepertinya sudah kelihatan ada cahaya lampu dihadapanku… Ya beberapa meter dari arahku.
Degh…!?
Siapa didepan sana ? dibawa temaram lampu dilorong kecil itu. Hanya terlihat siluetnya. Seperti sosok lelaki tua. Kutatap lekat-lekat wajahnya dari kejauhan. Dibawah sinar bulan yang samar-samar bercahaya karena tertutup awan. Ia memincingkan matanya melihat keatas, Ya… ia melihat bulan, memang melihat bulan. Ia seperti memikirkan sesuatu, atau mungkin menghayalkan, atau jangan-jngan menengingat sesuatu. Sesuatu yang berharga baginya. Ia sangat terlihat serius dan sesekali memincingkan kembali kedua bola matanya.
Dari tadi, terus kupikirkan lelaki tua itu. Kumulai mendekatinya. Sepertinya, aku mengenalnya? Ternyata dia kakekku. Ku pegangi pundaknya dengan telapak tangan kananku. Ia menoleh padaku sembari tersadar dari lamunanya. Ia tersenyum. Dan kembali pada kebiasaannya beberapa detik yang lalu. Sekarang, aku baru sadar,aku sudah tahu apa yang ia pikirkan. Ia kembali dimasa lalu. Masa ketika ia masih berkobar-kobar bersama kawan didepan lawan. Masa dimana ia terbiasa bercengkrama dengan mesiu dan gelegar bom.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H