Di kepalanya masih terngiang apa yang dikatakan Martino tadi, juga Raditya dulu saat masih kuliah di Bandung. Apa yang kurang dari Dewi Utari? Apa yang kurang? Bentuk tubuhnya? Kecantikannya? Kebaikan hatinya? Ketenangannya? Kedewasaannya? Semua ada, bukan? Lalu, mengapa kau sia-saikan dia? Kau cari semua itu pada beberapa gadismu, sementara kau biarkan dia melihatmu dari jauh dengan wajah dingin saat kau merangkul salah satu gadismu?
Dia berusaha memejamkan matanya. Namun wajah Dewi kembali datang ke dalam pikirannya, berulang-ulang. Datang, pergi, datang, pergi, dan datang lagi. Dia tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Walau bagaimanapun, Dewi adalah gadis paling dekat dengannya. Yang lain boleh datang dan pergi, tapi Dewi tak pernah pergi. Jika hubungan saat ini diubah menjadi hubungan kekasih, maka jika suatu saat dia pergi, maka hampir pasti tak akan pernah kembali. Maka, persahabatan, kini terbukti, lebih kekal dari percintaan. Dia tak ingin mengubah itu seperti mungkin Dewi juga tak menginginkan perubahan itu.
"Aku tak akan bisa jatuh cinta kepada lelaki seperti kamu," kata Dewi suatu saat. Di telinga Abi, itu sebuah candaan.
"Kita buktikan nanti. Jangan merengek-rengek ya kalau nanti kamu benar-benar jatuh cinta padaku?" kata Abi pura-pura serius.
"Aku serius," kata Dewi lagi. "Lelaki seperti kamu tak akan membuat tentram perempuan..."
"Kenapa?" tanya Abi penasaran.
"Karena ketika kamu bersama seorang gadis yang di mana kalian terikat hubungan kekasih atau apalah namanya, matamu sering memandang, berpaling ke arah gadis-gadis lainnya yang menurutmu lebih cantik..."
"Hahhaaa... kamu salah menilaiku..."
"Sekian lama kita berteman. Aku tahu semua akal bulusmu jika itu sudah berhubungan dengan gadis-gadis cantik..." (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H