"Hahhaaa... Mungkin bagi dia tiga hari itu sama dengan tiga pekan atau tiga bulan..."
"Asem..."
Dia menyodorkan satu cangkir kopi ke Martino. Kemudian keduanya tertawa.
"Jangan menggantung anak orang tanpa tali..." kata Martino lagi.
"Maksudnya?"
"Ah, tahulah kamu maksudku. Kalian sudah lama dekat. Dia kayaknya ingin selalu dekat denganmu. Dia pernah bilang, ayahnya menyuruhnya belajar di sekolah bisnis di Leicester, tetapi dia memilih ke sini..."
"Dia kan memang ingin ke sini. Katanya jika ingin pulang ke Jakarta lebih dekat. Nggak jauh beda dengan ke Surabaya atau Medan..."
Martino menyeruput kopinya. Tangannya masih memegang novel yang sudah hampir tiga hari ini dibacanya tapi belum selesai juga.
"Abi, dia perempuan. Dia pasti menyimpan semuanya darimu. Paling tidak kamu harus sedikit perhatian ke dia dan menyadari perhatian khusus dia selama ini..."
"Bahhahaha... Kamu tahu, Martin? Aku dan Dewi sudah lama berteman dan kami tahu masing-masing seperti apa kami. Dia tak pernah meminta apa-apa dariku. Aku juga tak pernah meminta apa-apa darinya. Kami sudah seperti saudara. Kami sahabatan sudah sangat lama. Dan itu tak perlu diragukan. Nggak mungkinlah dia menginginkan aku lebih..."
"Selama kalian dekat, kamu pernah tahu dia punya pacar?"