Ketika ada manusia baru di muka bumi, maka orang-orang terdekatnya selalu kecepretan rasa bahagia. Baik itu bapak ibunya, kakek neneknya, paman bibinya dan yang lainnya. Rasa bahagia atas lahirnya generasi baru secara perlahan menjelma sebagai sebuah harapan. Harapan keluarga atas anaknya secara sederhana dapat dilihat dari untaian nama yang disematkan. Nama bayi adalah simbol dari untaian harapan orang tua.
Harapan adalah keinginan. Orang tua si bayi berharap supaya anaknya bisa tumbuh menjadi manusia seperti yang diinginkan. Karena orang tua ingin anaknya menjadi anak sehat maka makanan yang diberikan adalah makanan-makanan yang bergizi. Karena orang tua ingin anaknya enak dilihat maka baju yang dipakaikan adalah baju-baju yang nampak indah dipandang mata.
Setiap orang tua memang memiliki hak untuk punya keinginan agar anaknya tumbuh menjadi manusia macam apa. Tidak ada satu pasal pun dalam hukum formal yang melarang orang tua untuk punya keinginan kepada anaknya. Dan tidak ada satu ayat Tuhan juga yang melarang para orang tua untuk punya keinginan.
Namun, keinginan orang tua ternyata tidak hanya berhenti pada sebatas penampilan fisik semata. Harapan orang tua ternyata jauh melampaui itu semua. Tidak sedikit para orang tua yang “bersusah payah” menginginkan anaknya tumbuh, berkembang dan menjadi manusia seperti yang diinginkannya. Ketika orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia A, maka segala hal; mulai dari pola pendidikan, lingkungan pergaulan, tempat sekolah, jurusan kuliah dan sebagainya, dikondisikan agar nantinya sanggup menjadikan anaknya sebagai manusia A.
Hal semacam ini sangat lumrah terjadi di masyarakat. Harapan orang tua pada anak telah menjadi dasar bagi orang tua untuk mendidik anaknya. Karena itu, pola umum dalam pendidikan anak di negeri ini adalah tumbuh kembang anak selalu “diselimuti” oleh keinginan orang tua. Artinya, anak dipersiapkan untuk menjadi seperti yang diinginkan orang tuanya.
Padahal, setiap anak yang terlahir ke muka bumi tidak terlepas dari keinginan Tuhan. Tidak ada satu pun anak manusia yang hadir ke alam semesta terlepas dari kehendak Tuhan. Maksudnya, setiap anak yang terlahir sudah pasti selalu atas dasar kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa Tuhan punya ingin, punya mau, punya harapan menciptakan si C dengan jenis kelamin ini, yang lahir pada hari ini, tanggal ini, menit ini, dari rahim perempuan ini, dan seterusnya.
Lantas, ketika anak ini lahir, justru yang menguasai pola pertumbuhannya adalah keinginan orang tua si bayi bukan keinginan Tuhan. Keinginan Tuhan dilengserkan, tidak dihiraukan, tidak diperhatikan bahkan cenderung diremehkan. Para orang tua begitu yakin kalau keinginannya kepada anaknya jauh lebih baik ketimbang keinginan Tuhan kepada anaknya itu. Karena keinginan orang tua dianggap lebih baik dari keinginan Tuhan, maka wajar sekali kalau anaknya dididik sesuai yang diinginkannya.
Tapi lucunya, ketika dalam proses mendidik para orang tua mengalami kesusahan, masalah atau kesulitan, para orang tua ini minta tolongnya malah pada Tuhan. Untungnya Tuhan itu Maha Pemaaf. Ternyata, dalam proses mendidik anak sebenarnya terpendam suatu peristiwa perebutan hak memiliki.
Tidak sedikit para orang tua yang telah merasa benar-benar memiliki anaknya. Padahal, para orang tua tersebut tidak pernah bisa membuat tangan anaknya. Usaha kedua orang tua hanya sebatas mempertemukan dua air dalam satu wadah. Tidak lebih. Selebihnya, yang membuat jari tangan anaknya, hidungnya, mulutnya dan seluruh onderdil tubuh si anak adalah Tuhan. Para orang tua tidak pernah ikut-ikutan.
Kalau ternyata orang tua tidak pernah bisa membuat bagian-bagian tubuh si anak, lantas, pantaskah bila orang tua mengaku kalau anaknya itu adalah miliknya? Kalau para orang tua tidak pernah bisa secara sengaja membentuk anaknya seperti yang diinginkan, lantas, pantaskah bila anak yang dilahirkannya dididik sesuai keinginannya? Mana yang lebih baik, mendidik anak untuk tumbuh menjadi manusia seperti yang diinginkan orang tuanya, atau menyiapkannya menjadi manusia seperti yang diharapkan Tuhan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H