Saya ingin menuturkan satu kejadian empiris yang ada kaitannya dengan rasa. Orang jawa menyebutnya roso. Rasa tidak berada di wilayah otak sehingga olah rasa tidak pernah masuk dalam daftar perubahan kurikulum pendidikan di negeri ini. Anak-anak sekolah yang dioptimalkan hanyalah olah otaknya. Itu pun penekanannya bukan pada pemaksimalan cara kerja (berpikir) tapi lebih pada kemampuannya dalam menyimpan data (menghafal).
Pendek kata, suatu ketika ada seorang kawan yang mendengar ada tetangganya yang sudah sakit berhari-hari. Jaraknya sekitar seratus meter dari rumah. Kian hari sakitnya semakin tambah parah. Kawan saya menduga tetangganya itu sakit parah karena faktor usia. Tapi ternyata dugaannya itu meleset jauh.
Tetangga depan rumahnya sakit karena sengaja sakitnya dibiarkan begitu saja, tidak diobati. Setelah kawan saya cari tahu, tetangganya itu sebenarnya bukan tidak mau berobat tapi karena tidak punya uang untuk berobat. Istrinya hanyalah seorang buruh tani yang hasil kerja hari ini dimakan esok hari. Hidupnya benar-benar pas-pasan untuk sekedar makan.
Kawan saya tidak berpikir lama. Siang itu, dia bilang ke istri tetangganya yang sakit kalau nanti sore, suaminya harus dibawa ke dokter. Masalah biaya tidak perlu dipikirin. Petang hari, setelah sholat maghrib kawan saya membawa tetangganya yang sakit ke seorang dokter yang dia kenal reputasi medisnya. Setelah didiagnosa, diberi obat, tanya jawab dan tentunya membayar biaya pengobatan, dokter yang dia kenal malah ngajak ngobrol.
Dari yang semula obrolan ngalor-ngidul kemudian berubah dari obrolan yang menyesakkan dada. Sang dokter begitu bangganya menceritakan tumpukan harta kekayaannya, luas tanahnya yang baru dibeli, luasnya kebun durian dan pepaya yang dimiliki. Ekspresi wajah beserta intonasi suaranya menggambarkan kebanggaan sang dokter atas prestasi duniawinya.
Sang dokter tidak tahu (atau malah tidak mau tahu) kalau orang sakit yang ada di sebelah kawan saya itu, sengaja membiarkan rasa sakit menyerang tubuhnya barhari-hari lantaran tidak punya uang untuk berobat. Sang dokter yang sudah haji itu tidak tahu (atau malah tidak mau tahu juga) kalau uang berobat yang baru saja diterimanya tidak berasal dari uang simpanan si pasien.
Kawan saya berada dalam kondisi psikologis yang dilematis. Pada satu sisi, dia harus tetap menghormati sang dokter yang mengajaknya ngobrol. Tapi di sisi lain, kawan saya tidak tega dengan tetangganya. Setelah selesai mengantar tetangganya pulang, kawan saya itu langsung mengajak saya ngopi dan langsung pula menumpahkan segala persoalan roso yang baru saja dihadapinya.
Inilah kejadian empiris terkait rasa yang saya maksud. Bila dilihat dari kaca mata hukum, entah itu hukum formal kenegaraan maupun hukum fiqh agama, sang dokter sah-sah saja untuk menerima uang jasa dari si pasien (tetangga teman saya yang sakit itu). Tapi, bila rasa yang dijadikan sebagai alat ukur, rasa-rasanya kurang etis jika orang kaya seperti sang dokter masih saja mau menerima uang dari si pasien yang notabene adalah orang miskin. Apalah artinya kehilangan uang lima puluh ribu bagi sang dokter yang aset duniawinya sudah puluhan juta atau bahkan sudah ratusan juta.
Tapi, lagi-lagi ini persoalan rasa yang tidak pernah ada mata pelajarannya di sekolah dan tidak pernah ada jurusannya di universitas. Padahal, olah rasa sangat berkaitan erat dengan statemen Tuhan tentang aroaitalladhi yukaddzibu biddin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H