Mohon tunggu...
Achmad Faesol
Achmad Faesol Mohon Tunggu... -

Alumni PP Al-Amien Prenduan Sumenep Madura\r\nAlumni Pasca Sarjana\r\nUniversitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemerdekaan Kaum Marginal

16 Agustus 2015   10:20 Diperbarui: 16 Agustus 2015   10:20 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada yang mengatakan bahwa tingkat nasionalisme itu sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara. Semakin sejahtera kehidupan seseorang, semakin besar waktu yang tersedia untuk peduli dan memikirkan kondisi bangsa. Begitu pun sebaliknya. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk mengurus keperluan perut, maka semakin kecil kesempatan untuk memikirkan keadaan negara.

Bila ingin bukti, cobalah tanyakan makna hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah berusia enam puluh sembilan tahun kepada mereka yang dikategorikan sebagai kaum marginal di negeri ini. Suatu komunitas masyarakat yang sering kali diberi label sebagai golongan fakir miskin dan kaum dhuafa. Apakah mereka masih sempat memikirkan kondisi nasib bangsa terkait dengan hakikat kemerdekaan, pancasila maupun nilai-nilai kebangsaan lainnya? Atau jangan-jangan, mereka sudah tidak peduli lagi karena setiap hari hanya disibukkan untuk sekedar bertahan hidup.

Sibuk mencari makan adalah potret kenyataan hidup kaum marginal yang kehilangan akses strategis ekonomi, tidak memiliki posisi tawar, tidak mempunyai peluang berkembang dan selalu menjadi korban perebutan kekuasaan. Bahkan, keberadaan mereka sering kali hanya diperhatikan untuk kemudian dimanfaatkan dikala menjelang pemilihan umum saja. Setelah itu akan dilupakan dan akan diingat kembali pada pemilu mendatang.

Rendahnya rasa berkebangsaan kaum marginal bukan disebabkan oleh keyakinan dan niat mereka, tapi karena tingkat kualitas kesejahteraan ekonominya. Bagaimana mungkin ada waktu memikirkan dan memahami nilai-nilai kebangsaan kalau hari demi hari fokus perhatiannya selalu tertuju pada kebutuhan perut. Kalau kerja keras siang malam tak kenal lelah semata-mata hanya demi menyambung hidup untuk hari esok, maka mustahil masih mau memikirkan negara.

Bagi mereka yang terlahir miskin dan terus saja dimiskinkan oleh tatanan struktur sosial selama puluhan tahun, ada atau tidaknya negara ini tidaklah terlalu penting. Apalagi cuma sekedar rutinitas peringatan hari kemerdekaan setiap tahun yang selalu dirayakan dengan upacara bendera.

Sikap cuek ini dikarenakan selama mereka hidup, mulai dari pergantian kepala rukun warga hingga kepala negara ternyata tidak berdampak langsung pada perubahan keadaan ekonomi keluarga. Nasib mereka masih tetap saja seperti yang dulu. Masih kesulitan mencari makan di tanah kelahirannya sendiri yang konon katanya bagaikan “potongan surga”. Karena itu, siapapun yang mau jadi presiden tidak masalah karena masalah utama mereka adalah jaminan kesejahteraan ekonomi.

Dengan demikian, rutinitas kemeriahan hari kemerdekaan Indonesia yang rutin diperingati setiap bulan Agustus sebenarnya telah menyisakan satu ruang hampa dalam kehidupan rakyat. Suatu kenyataan hidup dimana rasa berbangsa dan bernegara sudah mulai terkikis dan hampir musnah. Padahal, rasa memiliki merupakan syarat utama dalam kehidupan bernegara. Bukankah bangsa ini ada bukan hanya untuk kalangan berada, tapi untuk semua yang berwarganegara Indonesia.

Keunikan Indonesia

Ternyata, rumusan asumsi di atas tidak selamanya benar dalam konteks keindonesiaan. Di tanah air yang unik ini, teori tersebut tidak berlaku. Karena bila teori itu tepat, maka logikanya, semakin kaya seseorang semakin tinggi rasa nasionalismenya. Semakin sejahtera kehidupan ekonomi seseorang, seharusnya semakin besar pula rasa cintanya ke tanah air. Dengan kata lain, semakin mapan kondisi financial, semestinya semakin tinggi kepeduliannya untuk melindungi negara.

Namun, kenyataan hidup sehari-hari tidak menunjukkan demikian. Profil para koruptor pasca reformasi yang didominasi oleh kalangan berada adalah fakta yang membantah formula kebenaran logika dari teori relasi nasionalisme dan kesejahteraan ekonomi tersebut. Bukankah para koruptor itu termasuk manusia Indonesia yang sudah masuk level atas dalam urusan ekonomi? Bukankah mereka sudah tidak lagi disibukkan untuk mengurus masalah perut karena persoalan makan sudah sangat aman?

Tapi, kenapa masih saja mereka mau merampok kekayaan negaranya sendiri demi menambah tumpukan materi keluarganya? Kalau kebutuhan primer sudah terjamin hingga anak cucu, kenapa mereka masih saja tertarik untuk merusak sendi-sendi kebangsaan dari dalam? Bukankah ini menjadi bukti kuat bahwa tidak selamanya orang yang mapan ekonominya lebih mencintai negeri ini ketimbang mereka yang untuk makan hari ini saja masih harus dicari sekarang juga. Tidak ada jaminan bahwa semakin sejahtera hidup seseorang akan semakin sering memikirkan nasib bangsa dan mau melakukan sesuatu untuk negaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun