Semua hal dalam hidup ada ilmunya. Bila ilmu tak dikuasai maka apapun yang dikerjakan, peluang kemudaratannya akan lebih besar tercipta ketimbang kemaslahatannya. Jangankan kebaikan, keburukan juga ada ilmunya. Mencuri itu memang tidak baik. Tapi ketika seseorang mencuri, ia harus benar-benar menguasai ilmu mencuri. Bila tidak, ia bisa ketahuan, ditangkap atau dihajar massa. Perbuatan buruk yang dikerjakan tanpa menggunakan ilmu maka akan berdampak “tidak baik” bagi pelakunya.
Jika berbuat tidak baik saja harus dengan ilmunya, apalagi dengan perbuatan baik? Perbuatan baik yang dikerjakan dengan tanpa ilmu tidak akan melahirkan kebaikan. Satu dari sekian banyak perbuatan baik yang semestinya dikuasai ilmunya adalah menasehati. Nasehat itu kata benda, tapi kalau menasehati itu kata kerja.
Artinya, menasehati adalah suatu aktifitas, gerakan atau proses. Karena aktifitas maka menasehati ada ilmunya. Tapi tidak semua orang yang menasehati menguasai ilmu menasehati. Sebabnya sederhana. Menasehati itu sangat mudah dan sederhana. Karena sangat sederhana dan begitu mudah maka banyak orang yang kemudian meremehkan pentingnya ilmu menasehati.
Padahal, putaran waktu dari detik menit dan jam, bila dicermati sebenarnya telah penuh sesak dengan kegiatan nasehat menasehati. Di rumah ada orang tua yang selalu menasehati anak-anaknya. Di sekolah ada para guru yang juga suka menasehati murid-muridnya. Selain dua tempat ini, baik di warung kopi, lapangan, pasar, terminal atau dimana saja, banyak orang yang hobi menasehati orang lain. Bahkan, di televisi ada banyak sekali ustad, ustadzah atau motivator yang setiap hari kerjanya hanya menasehati masyarakat.
Dari sekian banyak aktifitas menasehati, kira-kira berapa banyak yang menguasai ilmu menasehati? Dari sekian banyak orang tua, guru, atau siapa saja yang suka menasehati, kira-kira berapa persen yang benar-benar serius mempelajari ilmu menasehati? Apakah tingkat kenakalan anak ada hubungannya dengan ilmu menasehati orang tuanya? Apakah orang tua yang berpendidikan formal tinggi secara otomatis langsung menguasai ilmu menasehati dan begitu sebaliknya?
Menasehati itu baik, tapi kalau tak punya ilmunya maka ia tidak lagi bernilai kebaikan. Sama dengan makan. Makan itu baik, tapi kalau tidak tahu ilmunya makan maka makan sudah tidak lagi menjadi baik. Orang makan harus tahu kapan seharusnya makan, dimana, apa yang dimakan, berapa banyak yang dimakan dan bagaimana caranya makan.
Begitu pun dengan menasehati. Orang tua, guru atau siapa saja yang suka menasehati anak-anak, seharusnya ia tahu kapan waktu yang tepat menasehati, dimana tempat ideal untuk menasehati, cara menasehati, porsi nasehat yang diberikan serta kondisi psikologi sosial objek yang dinasehati. Tapi sekali lagi, berapa banyak dari orang yang suka menasehati telah menguasai hal-hal demikian?
Jangan-jangan, semakin besar jumlah kenakalan remaja akhir-akhir ini disebabkan oleh para orang tua, guru, saudara, tetangga, atau siapapun yang ketika menasehati remaja, ia tak tahu ilmunya menasehati. Dengan kata lain, kenakalan remaja bukan sekedar produk situasi sosial politik. Bukan pula hanya efek samping dari proses modernisasi dan globalisasi saja. Bukan juga hanya karena pengaruh media massa dan media sosial. Bisa jadi, mau diakui atau tidak, kenakalan remaja sebenarnya adalah buah dari ketidaksiapan, ketidaktahuan atau ketidakmauan orang-orang terdekat remaja untuk benar-benar serius belajar ilmu menasehati.
Padahal, Tuhan sudah “mewanti-wanti” agar jangan mengikuti, mengerjakan atau melakukan apa saja kalau tidak punya ilmunya. Karena itu wajar bila Muhammad, manusia yang tidak pernah dinasehati ayah kandungnya itu kemudian “berfatwa” bahwa mencari ilmu wajib hukumnya. Termasuk diantaranya adalah ilmu menasehati. Menasehati memang baik. Tapi kalau tidak tahu ilmunya, menasehati bisa menjadi tidak baik bahkan cenderung berbahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H