Mohon tunggu...
Achmad Faesol
Achmad Faesol Mohon Tunggu... -

Alumni PP Al-Amien Prenduan Sumenep Madura\r\nAlumni Pasca Sarjana\r\nUniversitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Guru Sukwan

4 Maret 2014   00:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru Sukwan

Setelah lulus kuliah, Sofyan berencana mau ngajar saja sebagai guru sukwan di sekolah dekat Masjid Al-Istiqomah. Tapi, sebelum memutuskan untuk jadi guru, dia ingin konsultasi dulu sama sahabatnya. Dia ingin mendengar pendapat Ibrahim. Barang kali ada masukan atau saran.

Maka pada minggu pagi itu, setelah bersih-bersih rumah, Sofyan datang ke rumah Ibrahim. Mereka berdua sudah janjian semalam. Sambil minum kopi dan merokok di depan musholla samping rumah Ibrahim, Sofyan memulai obrolan.

“Him, saya rencananya mau ngelamar jadi guru sukwan di sekolah di kampung ini. Kalau menurut kamu gimana?”

“Baguslah, ketimbang setiap hari kamu cuma nemenin aku ngobrol ngalor-ngidul, nanti malah kamu dicap anak gak baik sama masyarakat. Kayak aku ini sekarang. Walaupun aku sudah berusaha keras untuk jadi orang baik, orang-orang di kampung ini masih saja meremehkan aku dan menganggap aku pemuda nakal kayak dulu. Padahal aku sudah insaf, aku sudah mau berubah. Terus kapan kamu mau kirim lamaran?”

“Rencananya senin depan. Tapi aku ingin tahu dulu pendapatmu tentang rencanaku ini”

“Memangnya aku ini siapa Yan? Apa aku konsultan atau ahli pendidikan? Aku ini bukan siapa-siapa. Salah orang kamu kalau ingin tahu pendapatku”

“Aku tahu itu, tapi kamu kan sahabatku. Yaatas nama persahabatanlah kamu ngasik pendapatnya”

“Begitu? Ya sudah, tapi kamu jangan marah kalau nanti ada kata-kataku yang sedikit menyakitkan ya. Ada dua hal yang ingin aku katakan”

“Pertama, ketika kamu ingin jadi guru. Jangan pernah berniat jadi guru untuk menjual ilmu tapi juallah waktu dan energimu. Ilmu kamu bukan milikmu. Yang punya ilmu itu Tuhan, jadi jangan jual ilmu Tuhan. Jangan pernah berniat jadi guru untuk dibisniskan. Kalau mau mengajar ya sudah mengajar saja tanpa embel-embel ingin tahu bayarannya berapa”.

“Berusahalah belajar untuk meniru kiai-kiai jaman dulu yang mau mengajar bukan untuk dapat sertifikasi guru tapi murni ingin mengajar saja. Belajarlah pada kiai-kiai jaman dulu yang menjadikan sekolah sebagai lembaga amal dunia akhirat. Jangan seperti sekarang yang menjadikan sekolah sebagai lembaga bisnis untuk memperkaya diri. Kalau nanti kamu dapat bayaran ketika mengajar maka anggaplah itu sebagai uang jasa karena kamu telah menemani anak-anak belajar”

“Tapi…”, Sofyan mencoba membantah pendapat Ibrahim

“Sudah gak usah pakai tapi-tapian, kalau kamu membantah, aku gak mau nerusin pendapatku yang nomer dua nih”, Ibrahim langsung memotong omongan Sofyan dan balik membantah. Sofyan diam saja dan dengan perlahan menganggukkan kepalanya.

“Yang kedua, kamu harus tahu bahwa untuk menjadi guru itu yang diperlukan bukan hanya bisa mengajar saja, punya ijasah pendidikan saja, punya sertifikat mengajar saja, tapi lebih dari itu. Jadi guru itu harus bisa ditiru. Kamu kan tahu kalau puluhan tahun lalu ada nasehat leluhur yang mengatakan, guru kencing berdiri murid kencing berlari”.

“Inti nilai dari nasehat ini adalah menjadi guru tidak hanya bisa mengajar saja, tapi juga harus bisa mendidik dan untuk bisa mendidik maka guru harus mempunyai tingkah laku yang baik sehingga bisa menjadi teladan moral bagi para siswa”.

“Tapi, kalau mau secara jujur melihat keadaan guru saat ini, suasananya sudah jauh berubah. Deretan nama-nama oknum guru pelaku amoral di negeri ini menjadi potret nyata bahwa kecerdasan intelektual tidak memiliki dampak langsung terhadap kualitas mental dan moral seseorang”.

“Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa semakin pintar seseorang akan semakin bagus perilakunya. Asumsi ini melahirkan opini publik bahwa ilmu pengetahuan ternyata tidak berpengaruh langsung dalam membentuk kepribadian seseorang, guru misalnya”.

“Itu kan hanya segelintir saja Him. Itu hanya oknum guru saja”, Sofyan memberanikan diri untuk membantah pendapat Ibrahim.

“Jangan pernah menyepelekan oknum. Masalah itu besar atau tidak bukan tergantung dari sedikit banyak pelakunya tapi substansi masalah itu sendiri. Beragam kasus-kasus amoral di negeri ini dengan tokoh utama guru sudah tidak terhitung lagi jumlahnya”.

“Mulai dari tindakan pelecehan seksual, rekayasa-rekayasa ilmiah agar lolos sertifikasi sampai pada adanya tim sukses unas. Tumpukan bukti empiris ini semakin menegaskan bahwa dalam konsep pendidikan karakter, sebenarnya siapa yang harus terlebih dahulu dibentuk karakternya, anak didik atau pendidiknya?”

“Ya anak didiklah. Kurikulum itu didesain sedemikian rupa dengan karakter sebagai intinya ya ditujukan untuk anak didik. Yang bikin kurikulum itu orang-orang pintar Him, orang-orang profesor, orang-orang ahli pendidikan. Sudahlah kamu gak usah sok pinter untuk mencari kejelekan kurikulum itu”

“Aku tidak mau mencari kejelekannya tapi kamu harus sadar juga bahwa kacaunya negeri ini juga disebabkan oleh orang-orang pinter yang gak bener. Jadi jangan dikira semakin banyak orang pinter akan secara otomatis menjadi lebih baik negeri ini, belum tentu Yan”

“Ok, terus”

“Makanya, kalau kamu mau jadi guru kamu harus tahu, yang harus dimiliki bukan sekedar seperangkat keahlian mengajar, tumpukan ilmu pengetahuan dengan beragam teori yang ada tapi juga dibutuhkan keteladanan moral dan ketangguhan mental. Artinya, guru itu tidak hanya berfungsi sebagai pengajar saja tapi sekaligus berperan sebagai pemberi contoh perilaku mulia bagi anak didik”.

“Tugas mengajar secara administratif memang hanya berlaku ketika berada di sekolah. Selebihnya, dikala para siswa tidak lagi berada dalam jangkauan jam belajar formal maka guru tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengajar. Namun, berbeda dengan peran sebagai contoh teladan moral. Peran ini harus guru “mainkan” di sepanjang waktu dimana pun ia berada. Jadi, porsi kualitas dan kuantitas guru sebagai teladan moral sebenarnya jauh lebih besar ketimbang guru sebagai pengajar”.

“Kendati porsi guru sebagai teladan moral lebih besar dari fungsi guru sebagai pengajar, bukan berarti keterampilan mengajar hendak dikesampingkan atau keteladanan moral lebih diunggulkan. Tapi, keduanya harus berjalan maksimal dengan peran yang proporsional. Pemaksimalan dua peran guru tentu akhirnya akan berdampak pada peningkatan kualitas anak didik yang dihasilkan”.

“Karena itu, dalam konsep pendidikan karakter sebenarnya siapa objek perubahan yang perlu diprioritaskan? Pendidikan karakter itu sebenarnya untuk siapa, anak didik atau pendidiknya? Jika hanya anak didik saja yang senantiasa dibentuk karakternya sebagaimana terjadi selama ini, lantas bagaimana dengan gurunya?”

“Bukankah perilaku guru harus bisa ditiru? Bila guru hanya bisa mengajar tapi tidak mampu menjadi teladan, masih pantaskah disebut guru? Itulah mengapa, menurutku, pendidikan karakter itu tidak hanya untuk anak didik tapi juga untuk pendidiknya, gurunya juga harus dibentuk karakternya”.

“Terus bagaimana pendapatmu tentang rencanaku untuk jadi guru sukwan?”

“Terkait dengan guru sukwan. Kamu juga harus tahu bahwa guru sukwan itu artinya guru suka relawan. Karena suka relawan maka sangat masuk akal kalau dia tidak punya standart gaji yang jelas. Namanya juga suka relawan, ya terserah mau dibayar berapa. Dibayar saja sudah untung kok. Wong suka relawan bencana alam saja tidak dibayar masak suka relawan pendidikan minta dibayar mahal”.

“Makanya kalau kamu nanti jadi guru sukwan terus gajimu gak jelas berapa tiap bulannya ya gak usah marah wong kamu itu cuma guru suka relawan, guru sukwan. Gak ada kamu di sekolah, kegiatan mengajar tetap bisa berjalan kok. Kalau kamu ingin kaya, jangan jadi guru sukwan. Sana jualan saja, berbisnis saja atau jadi anggota DPR saja biar cepat kaya. Jadi pengertian guru sukwan harus kamu pahami dengan utuh sebelum kamu mengirim lamaran untuk jadi guru sukwan”.

“Kenapa banyak anak muda yang ingin jadi guru sukwan kalau arti guru sukwan itu guru suka relawan?”, Sofyan mulai tertarik dengan pernyataan Ibrahim.

“Itu masalah lain terkait dengan dunia pendidikan kita sekarang. Semakin hari, jumlah guru sukwan semakin bertambah jumlahnya. Banyak anak-anak muda yang ikut antrian panjang sebagai guru sukwan padahal lemah keterampilan mengajar dan rendah kualitas moralnya. Kenyataan anak-anak muda lebih memilih profesi guru banyak terlihat di sekolah-sekolah, mulai tingkat pendidikan dasar hingga menengah”.

“Motif utama menjadi guru sebagai bentuk pilihan profesi lebih disebabkan faktor ekonomis ketimbang ideologis. Artinya, dengan mengetahui gaji guru yang jutaan rupiah setiap bulan dan tugasnya “hanya” mengajar saja maka guru sekarang menjelma sebagai profesi favorit anak muda. Berbeda dengan puluhan tahun silam dimana gaji guru yang masih kecil berdampak nyata pada jumlah peminat muda untuk menjadi guru begitu sedikit”.

“Kan ada positifnya banyak guru sukwan?”

“Benar itu. Aspek positif dari banyaknya guru sukwan adalah tersedianya tenaga pengajar berusia muda dalam jumlah banyak. Tenaga-tenaga pendidik di bawah usia tiga puluh tahun adalah aset berharga dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Keberadaan guru sukwan yang melimpah dengan ditunjang faktor usia yang masih muda maka peluang mewujudkan pendidikan Indonesia berkualitas semakin besar”.

“Hal ini disebabkan karena tenaga pendidik muda masih memiliki spirit perubahan dan semangat kompetisi yang begitu besar. Spirit ini juga ditunjang oleh tenaga dan pikiran segar sehingga untuk melakukan perubahan-perubahan besar dan mendasar terkait dunia pendidikan begitu mudah untuk dilakukan”.

“Maka bukan suatu retorika belaka bila Bung Karno pernah meminta hanya sepuluh pemuda saja untuk melakukan perubahan. Namun, selain dampak positif ternyata jumlah guru sukwan yang tidak sedikit sebenarnya menyimpan potensi dampak negatif”.

“Apa dampak negatifnya Him?”

“Bila asumsi dasar terkait motif utama menjadi guru yang lebih disebabkan faktor ekonomis ketimbang ideologis itu benar adanya, maka kehadiran guru sukwan telah mengundang malapetaka dalam dunia pendidikan saat ini. Jika alasan utama dan pertama menjadi guru disebabkan karena faktor gaji semata maka salah satu point penilaian sertifikasi yang bertumpu pada jumlah jam mengajar akan menjadi prioritas”.

“Para guru sukwan akan berlomba-lomba untuk memiliki tingkat jam mengajar tinggi agar mampu memenuhi syarat administratif guru tersertifikasi. Padahal, semakin banyak bidang studi yang diampu dan semakin banyak siswa yang diajar maka tuntutan kualitas moral semakin besar”.

“Begitu pula dengan syarat sertifikasi guru yang mengarah pada durasi pengalaman mengajar. Syarat ini membuka peluang besar terhadap kemungkinan para guru sukwan yang minim pengalaman mengajar akan melakukan negosiasi-negosiasi khusus dengan kepala sekolah untuk merekayasa surat keterangan pengalaman mengajar agar sesuai ketentuan yang ada”.

“Bila ini yang terjadi maka keberadaan guru sukwan yang melimpah tidak lagi membawa manfaat tapi justru kerugian. Maka dari itu, nasib wajah masa depan pendidikan nasional sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh siapa menteri pendidikannya dan bagaimana kurikulumnya tapi juga dipengaruhi oleh kualitas moral sang guru sukwan”.

“Sekarang, kamu yang berencana mau jadi guru sukwan harus paham bahwa menjadi guru tidak hanya harus bisa mengajar ilmu tapi juga perilaku. Ketika berada di dalam kelas, kualitas keilmuan guru akan menjadi sorotan murid. Tapi bila telah di luar kelas maka tingkah laku guru lah yang akan diperhatikan, tidak hanya oleh para siswa tapi juga masyarakat”.

“Pada titik inilah nasehat para orang tua menemukan kebenarannya bahwa menjadi guru itu harus bisa digugu dan ditiru. Makanya, kalau kamu cuma siap mengajar dan menerima gaji saja, tapi tidak siap untuk menjadi teladan perbuatan baik bagi murid-muridmu, maka sebaiknya jangan sekali-kali ngelamar jadi guru sukwan deh”.

“Kenapa?”

“Biar negeri ini tidak semakin ruwet mikirin guru sukwan kayak kamu”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun