Mohon tunggu...
Achmad Faesol
Achmad Faesol Mohon Tunggu... -

Alumni PP Al-Amien Prenduan Sumenep Madura\r\nAlumni Pasca Sarjana\r\nUniversitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Profesor Kehidupan

18 Agustus 2014   16:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bila engkau termasuk sedikit orang yang tertarik untuk menghayati perjalanan hidup, maka ada baiknya bila Nabi Yusuf engkau jadikan sebagai seorang profesor kehidupanmu. Menghayati perjalanan hidup bukan berarti bermaksud mengenang kembali keindahan atau kesakitan penggalan kehidupan di masa lalu. Tapi, penghayatan terhadap penggalan waktu yang telah dilalui selama hidup bisa menjadi salah satu metode untuk mengenal dan “meraba-raba” apa kemauan Tuhan menciptakan kita.

Nah, perjalanan hidup Nabi Yusuf telah memberi pelajaran berharga bahwa; pertama, masing-masing setiap potongan dari penggalan hidup ternyata memiliki hubungan antara satu dengan yang lain, layaknya permainan puzzle. Kedua, kalaupun potongan hidup itu terasa menyakitkan dikala dialami, tapi itu adalah bagian dari jalan hidup yang harus dilalui dan justru menjadi penyebab dari kesuksesan di masa depan. Ketiga, jalannya hidup ini memang memiliki logika sendiri yang berbeda dengan logika manusia.

Cobalah engkau ingat-ingat kembali bagaimana proses perjalanan hidup Nabi Yusuf. Ternyata, perjalanan hidup yang begitu menyakitkan justru merupakan jalur logis untuk menjadi seorang “menteri” di kerajaan mesir. Logika mana yang bisa membuktikan kalau untuk menjadi seorang pejabat harus melalui proses kelahiran sebagai anak tiri, harus dibuang ke sumur, harus difitnah dan seterusnya.

Sebagai anak tiri, Nabi Yusuf begitu disayang oleh ayahnya sehingga saudaranya banyak yang iri. Tapi, justru itu lah letak garis logikanya. Andaikata Nabi Yusuf terlahir sebagai saudara kandung dari saudara-saudaranya, maka tidak mungkin akan dibuang ke sumur. Begitupun ketika berada di dalam sumur dan tersangkut di tali. Adegan diambilnya Yusuf kecil oleh para saudagar juga menjadi “penyebab” takdir yang membuat Nabi Yusuf menjadi pembesar di Mesir. Seandainya saja si saudagar itu tidak mau menjual Yusuf kecil ke pejabat Mesir yang tak lain merupakan keluarga Zulaikha, maka mustahil perjalanan hidup Nabi Yusuf akan sampai ke kerajaan Mesir.


Tapi, sekali lagi inilah logika takdir. Yusuf kecil yang tak ubahnya budak sehingga diperjualbelikan menjadi bagian penting juga dalam perjalanan takdir kehidupan Nabi Yusuf. Begitu pun dengan “aktor” yang membeli Nabi Yusuf yang tak lain adalah keluarga Zulaikha juga termasuk bagian dari skenario Tuhan.


Adapun dibalik maunya Tuhan menciptakan keindahan paras seorang pemuda bernama Yusuf, ternyata ada maksudnya juga. Bila saja wajah pemuda Yusuf biasa-biasa saja, tidak good looking, maka Zulaikha tidak mungkin terpesona. Tapi justru karena “kesempurnaan” fisik yang nampak di wajah pemuda Yusuf, maka Zulaikha sering merasakan getar-getar rasa tak terperi bila menatap kedua mata Yusuf.


Tumpukan getaran inilah yang pada akhirnya menciptakan tenaga pendorong dalam diri Zulaikha untuk menyeret Yusuf merasakan nikmatnya “cinta satu malam”. Adegan penolakan, bukti kekuatan iman, pertaruhan harga diri beserta adegan-adegan lain pada akhirnya memunculkan tragedi bernama fitnah. Fitnah inilah yang kemudian tanpa disadari dan tidak pernah disangka-sangka ternyata mampu mengantarkan Nabi Yusuf untuk tinggal di penjara dalam waktu yang lama.


Seandainya ketika di penjara Nabi Yusuf tidak punya pengalaman meramal mimpi teman satu selnya, maka potensi ini tidak akan pernah di dengar oleh sang raja. Justru karena teman satu selnya yang keluar duluanlah yang membuat Nabi Yusuf dipanggil raja, menafsirkan mimpi dan pada akhirnya diangkat menjadi menteri di kabinetnya.


Saya belum pernah bertemu Nabi Yusuf walau hanya dalam mimpi, tapi saya berasumsi bahwa Nabi Yusuf tidak pernah menyangka kalau pengalaman-pengalaman hidupnya yang pahit ketika dijalani justru menjadi jalur logis untuk menjadi seorang menteri. Andaikata pada setiap episode kehidupan yang menyakitkan itu Nabi Yusuf sempat curiga sama Tuhan, kemudian berburuk sangka dan akhirnya melakukan “pemberontakan”, barang kali akan lain lagi cerita kehidupannya.


Kalau saja Yusuf kecil begitu benci karena merasa sakit hati telah dikhianati oleh saudara-saudaranya, merasa benci pada kehidupan karena diperdagangkan layaknya barang dagangan, atau mengira hidup ini tidak adil karena difitnah justru karena memegang teguh nilai-nilai kehidupan yang diyakini kebenarannya. Maka tidak menutup kemungkinan, jalan cerita kehidupan Nabi Yusuf akan jauh berbeda.


Karena itu, jika saat ini saya, engkau atau siapa saja sedang mengalami ketidaknyamaan hidup. Sedang berada pada saat-saat tersulit. Sedang merasa teraniaya atau didholimi. Mengalami berbagai macam kesulitan, atau apa saja yang intinya suatu kondisi yang tidak pernah diharapkan, maka ada baiknya bila tidak langsung berburuk sangka pada Tuhan. Atau menuduh Tuhan tidak adil. Atau mengira hidup akan seperti ini terus.


Bisa jadi, apa yang kita alami saat ini, sebenarnya rute logis dari nasib kita yang justru dengan ketidaknyamanan ini akan membuat kenyamanan di masa depan. Layaknya Nabi Yusuf yang tidak nyaman difitnah. Tapi justru karena fitnah itulah beliau dipenjara dan pada akhirnya menjadi jalan yang mengantarkannya menjadi orang kepercayaan raja.


Sejauh penghayatan saya atas potret perjalanan hidup Nabi Yusuf, ternyata ada porsi pembagian peran antara Tuhan dan manusia dalam mengendalikan arah kehidupan, dan peran Tuhan, pada hal-hal tertentu, saya pikir jauh lebih besar dari peran manusia. Maka benar bilang ada yang bilang, hidup ini tidak seperti yang kita inginkan tapi seperti yang Tuhan maksudkan.

Ketidaksamaan maksud Tuhan dengan keinginan kita inilah yang mengantarkan kita sering kali menjumpai banyak sekali kenyataan hidup yang kemudian kita anggap sebagai “kebetulan” dan “ketidaksengajaan” dalam hidup ini. Setiap kejadian apapun yang kita anggap “tidak sengaja” atau “kebetulan” sebenarnya menjadi bukti nyata bahwa kita memang benar-benar tidak mampu merancang dan mengatur dengan sengaja kejadian tersebut sedetil mungkin sesuai selera kita. Kalau begitu, berarti ada sesuatu di luar kita yang telah menyengajakan peristiwa itu terjadi sedemikian rupa? Siapa dia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun