"BERI aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia." Inilah kalimat populer yang meluncur dari lidah Bung Karno. Sangat menginspirasi dan memotivasi para pemuda ketika itu.
Soekarno tentu saja melihat masa depan bangsa ada di pundak para pemuda. Merah hitam masa depan negeri ini, mereka yang mewarnainya.
Tetapi, entah kalimat apa yang bakal keluar dari lidah pembakar semangat bangsanya, andai Soekarno melihat pemuda Indonesia masa kini.
Soekarno akan melihat barisan jutaan pemuda yang mengekor membebek pada budaya orang. Wajah, potongan rambut dan gaya fashion mereka menyeragam dengan kultur pop dunia. Cara bicara dan berperilaku pun demikian. Sulit menemukan pemuda yang masih berpenampilan "asli Indonesia" saat ini. Sebaliknya, jauh lebih mudah menemukan pemuda Indonesia yang keamerika-amerikaan atau kekorea-koreaan.
Soekarno mungkin akan terperangah melihat pemuda-pemuda Indonesia begitu tinggi daya juangnya dalam mendapatkan tiket konser boyband dan girlband Korea. Rela antri dari sore hingga pagi.
Soekarno mungkin akan terbelalak melihat pemuda-pemuda Indonesia lebih meminati joget mirip kuda jingkrak ala rapper Korea ketimbang jaran kepang atau kuda lumping asli Indonesia. Sungguh tak pantas mencaci kalau khazanah budaya ini kelak dirawat, dipelihara dan dikembangkan dengan baik oleh saudara serumpun di negeri jiran.
Sementara, pemuda-pemuda yang berupaya menjaga diri dari segala pengaruh buruk lingkungan, justru harus menghadapi tudingan miring, Aktif di Kerohanian Islam (Rohis) kini berisiko dianggap sebagai bibit teroris. Sebab, Metro TV dengan tidak bertanggungjawab menyebut Rohis sebagai pintu persemaian teroris muda.
Kalau mau jujur, sesungguhnya teroris-teroris muda itu adalah pelajar-pelajar yang hobi tawuran, bertarung brutal, berbunuh-bunuhan di jalanan. Nafsu membunuh terwakili pada pedang, samurai, clurit, rantai besi, ikat pinggang berkepala roda gigi dan beragam senjata mereka dalam "jihad membela nama sekolah". Hanya sedikit terdengar berbeda dengan "jihad fi sabilillah" tapi bagai langit dan bumi berbeda makna.
Silakan cek, adakah di antara peminat dan penikmat tawuran itu yang aktif di Rohis. Di arena tawuran legendaris yang turun temurun antara SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta, pernahkah Rohis SMAN 6 dan Rohis SMAN 70 terlibat tawuran? Jawabnya tentu saja tidak.
Ironisnya, pihak sekolah seolah tak berdaya mengendalikan para aktivis tawuran ini. Terbukti dari terus langgengnya tradisi tawuran.
Yang tak kalah menyedihkan adalah kinerja polisi. Dua SMA elit ini hanya berjarak beberapa ratus meter dari Mabes Polri. Banyak siswanya juga anak-anak dari pejabat Polri. Mengapa polisi seolah buta dan tuli atas potensi tawuran yang kerap terjadi di kawasan ini?