Mohon tunggu...
Pak Syam
Pak Syam Mohon Tunggu... Auditor - Pegiat Keayahan

Appraiser Bisnis, Pegiat Keayahan, Direktur Klaten Family Center (Klaten FC) dan Founder Komunitas Ayah Hebat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Merdeka, Ayah Siap Mendukungmu Nak

16 Agustus 2023   09:16 Diperbarui: 16 Agustus 2023   09:36 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu di jaman baheula saya akrab dengan diksi “pewarnaan”. Yaitu sebuah proses untuk memberikan warna pada sesuatu. Tapi ini sesuatu di ranah non fisik. Yaitu proses mewarnai atau mempengaruhi jiwa (perasaan, pikiran maupun keyakinan) seseorang.

Konon diksi ini diambil dari bahasa arab, persisnya bahasa alqur’an. Dia diambil dari kata shibghoh, yang bermakna pewarnaan atau celupan. Namun secara istilah dia ditempatkan sebagai proses mewarnai atau mempengaruhi perasaan, pikiran dan keyakinan seseorang. Sampai orang yang dipengaruhi tersebut berubah pikiran, keyakinan dan perilakunya. Berubah sesuai dengan pengaruh yang telah kita berikan kepadanya.

Ilustrasi sederhananya begini. Biar gampang saya menggunakan ilustrasi yang bersifat fisik saja ya. Bayangkan di tangan saya ada sebuah gelas berisi air putih. Lalu saya tuang beberapa senduk sirup berwarna merah menyala ke dalamnya. Lalu saya aduk. Apa yang terjadi ?

Air berubah warna. Air yang semula berwarna benih kemudian berubah menjadi berwarna merah, sesuai dengan warna sirup yang saya tuang tadi. Nah proses memasukkan sirup merah ke dalam air putih, lalu mengaduknya inilah yang dinamakan men-sibghoh alias mewarnai sebagaimana diksi di atas. Bedanya diksi di atas ranahnya pewarnaan jiwa. Oke clear ya …

Sekarang setelah beberapa tahun berlalu saya kembali berhadapan dengan diksi itu lagi. Kali ini momennya lebih spesial. Momen relasi ayah dan anak, wabil khusus tarbiyatul aulad alias pendidikan anak. Sekarang saya dipaksa oleh keadaan untuk menjadi ayah yang beneran he he

Menjalani peran ayah beneran, lama-lama nikmat juga. Saya menikmatinya dengan baik. Bahkan seperti terpanggil untuk menghidupkan kembali makna diksi di atas ke tingkat yang lebih nyata. Yakni dalam bentuk dukungan kepada anak dalam tumbuh kembangnya. Agar tumbuh kembangnya anak-anak bersesuaian dengan takdirnya dalam meraih level manusia paripurna (alqoyyimah). Ini tuntutan peran ayah, sebagai tugas membangun peradaban. He he serius sekali …

Saya terpaksa mikir, peras otak, buk-buka referensi untuk mencari ide kira-kira dukungan apa yang harus saya berikan kepada anak-anak agar dia menjadi anak shalih alias pemuda harapan bangsa yang akan mengangkat Indonesia sebagai pemimpin peradaban dunia ? Pemuda dengan derajat al qoyyimah (bernilai tinggi) di hadapan Allah sekaligus menjadi sdm berdaya saing optimum di tingkat global. Wess mantap sekali ini

Ini tugas peradaban Bro. Saya berpikirnya Indonesia ini kan negara besar ya ? Maka sudah semestinya dia memiliki peran penting dalam percaturan dunia. Dia mesti berusaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar bisa menjadi semacam ustazhiatul ‘alam (soko guru dunia) dalam penyebaran ruh rahmah lil ‘alamin (kedamaian dan ketenteraman dunia) aktif turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Merdekaaaa …

Berat amat ya tugas ayah, sampai ikut melaksanakan ketertiban dunia segala ? Ehh … bukan hanya ketertiban dunia, tapi juga kedamaian di akhirat lo.

Konkritnya kayak apa tuh ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun