Pada  11 November 1785. Dibumi mataram, dibawah langit pulau jawa yang  bernama Ngayogyakarta. Lahirlah seorang laki2 putra raja/sultan Jogja  (HB III) dari Garwo Ampean (selir).
Dia diberi nama Raden Mustahar.  Yang oleh HB I (eyang buyutnya) dikatakan bahwa putra mataram ini akan  membuat kerusakan yang besar sekali pada kolonial Belanda melebihi apa  yang telah dilakukan oleh HB I sebelumnya.
 Dalam asuhan dan kasih  sayang nenek buyutnya (Ratu Ageng / permaisuri HB I) Raden Mustahar  dibesarkan di Tegalrejo untuk menghindari kehidupan dan kebiasaan buruk  belanda yang sudah merusak tatanan keraton Yogyakarta.
Segala  pengetahuan, baik ilmu agama, pertanian, berdagang bahkan jiwa  kesosialan yang tinggi akhirnya membentuk Raden Mustahar (Ontowiryo  kecil) tumbuh dewasa menjadi sosok yang bijaksana, sukses dan berjiwa  besar dengan nama Pangeran Diponegoro.
 Segala fitnah, dan intrik  keji belanda merebut tanah mataram semakin menjadikan Pangeran  Diponegoro mengerti bagaimana seharusnya menjadi putra mataram yang  mencintai rakyatnya, menjunjung tinggi budayanya serta membela hak2  manusia yang beradab.
 Tahun 1825, tepat diusianya ke 40, Pangeran  Diponegoro meninggalkan rumah tegalrejo yang penuh kenangan hancur oleh  kerakusan belanda dan pejabat2 keraton yang haus kuasa dan korup.
Di Selarong dengan kekuatan rakyat, dengan ijin alam semesta  (insya'allah atas ridho Allah swt) Pangeran Diponegoro melakukan  perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang dzolim.
 Pangeran Diponegoro memang bukan The Great Alexander, bukan juga Simon  Bolivar. Rentang waktu dan wilayah pertempurannya memang tidak selama  dan seluas pertempuran alexander apalagi Simon Bolivar.
Tapi  Pangeran Diponegoro telah sangat terbukti membuat Kerajaan Belanda jatuh  miskin akibat Perang Jawa yang hanya berlangsung 5 tahun. Pangeran  Diponegoro telah menjadi alasan Swedia merdeka dari kekuasaan Belanda  yang jatuh miskin dan tidak mampu lagi mengelola swedia yang juga bangsa  jajahan.. Pangeran Diponegoro dianggap berjasa dan memiliki andil atas  kemerdekaan Swedia. Sebegitu besar dampak yang diakibatkan perlawanan  rakyat mataram.
 Perang Jawa bagaikan hantu bagi Kerajaan Belanda.  Puluhan ribu prajuritnya tewas melawan hebatnya perlawanan laskar  mataram. Sekalipun populasi penduduk Jawa harus menyusut hampir 50%  akibat perang tersebut.
Tapi sejarah dunia mencatat bahwa Perang Jawa adalah perang terhebat yang pernah terjadi sepanjang sejarah.
Inggris juga Prancis yang pernah berkuasa di pulau Jawa mengakui, bahwa Mataram adalah bangsa yang tangguh.
 Belanda katakan itu dengan nama DeJava-Oorlog (perang jawa)
Ratusan catatan tentang deJava-Oorlog tersimpan rapih dimuseumnya. Terjaga dengan segala cerita2 dukanya.
 Dalam pengasingan di Benteng Amsterdam, Tondano - Manado, 1830-1833.
 Pangeran Diponegoro menuliskan sebuah Babad (kisah hidupnya) dalam  bentuk sastra Jawa (tembang) setebal 1700 halaman dengan huruf Pegon  (arab gundul).
Pesan yang tersirat dalam Babad Diponegoro ini sungguh mengingatkan sekaligus mengajari kita tentang banyak hal.
 Tentang ahlak manusia, tentang hak dan kewajiban, tentang bagaimana  menjaga bangsa dan negara dari kerusakan, tentang bagaimana menjaga  kesatuan ditengah2 banyaknya perbedaan, tentang bagaimana menjaga  budaya, adat peradaban bangsa.
 Tahun 2013, PBB melalui lembaga  Pendidikan dan Kebudayaannya UNESCO, telah memberika  penghargaan pada  Babad Diponegoro sebagai salah satu karya sastra warisan dunia dengan  predikat MEMORY OF THE WORLD.
 Dan kami sebagai putra putri bangsa  Indonesia, yang mencintai NKRI, yang menghormati Pancasila dan Merah  Putih, yang menghargai jasa2 para Pahlawan, yang tidak akan pernah  melupakan sejarah.
Dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat.
 Dalam satu lembaga yang kami beri nama "untuwalang.art" mempersembahkan  satu karya film sebagai bentuk apresiasi kami atas sejarah panjang yang  pernah terjadi di negeri ini dan atas penghargaan yang di berikan  UNESCO pada sesuatu yang dilahirkan bangsa ini.
 Film  DeJAVA-OORLOG untuk dunia, untuk Damai dan Jaya Negara Kesatuan Republik  Indonesia dibawah panji Merah Putih dan azas kebangsaan Pancasila.