Saya lihat di layar. Skor pertandingan Timnas ketinggalan tiga gol. Sementara wajah-wajah yang mulanya penuh senyum kini menjadi kucel. Sebagian lagi nampak geram.Â
Ternyata, hanya saya saja yang tidak terlibat dalam situasi itu. Walau kalah, mereka tetap melihat layar. Tentu sambil menyumpahi pemain. Sambil memukul meja. Bahkan ketika gol ke empat, terdengar suara sorak sorai dari meja ujung. Salah seorang remaja berteriak kegirangan. Semua mata mau tak mau mengarah ke sana.
Sarjito yang terkenal dengan nasionalismenya langsung menghambur ke meja pojok. Tanpa babibu beberapa pukulan menghujam telak ke wajah remaja malang itu.Â
Ternyata, teman-teman remaja itu cukup banyak. Dengan seketika, Sarjito kini terjengkang. Tubuhnya dihujani tendangan dan pukulan. Ludah, khotbah, dan umpatan. Persis ketika peluut akhir dibunyikan.
Ketika suasana ricuh saya memutuskan untuk mematikan listrik yang ada di sebelah saya. Teriakan semakin nyaring ketika lampu padam. Sumpah serapah dan erangan berhamburan. Lamat-lamat di kejauhan suara sirine mendayu-dayu. Seperti orang kafir saya mengendap-endap meninggalkan pertempuran tak bertuan itu.
Prambon, 30/12/21
Mendekam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H