Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Gerimis Reda

14 September 2021   18:26 Diperbarui: 14 September 2021   18:33 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah gerimis reda, saya berniat meringankan pikiran. Beberapa pekan ini, kesibukan silih berganti mengganyang waktu luang. Maka saya sudah berjanji pada diri saya, untuk balas dendam. Hari libur akan saya pakai sepenuhnya. Tidak ada tapi dan kompromi.

Banyak sekali alternatif yang akan saya coba. Mulai dari mengunjungi kampung kemiskinan di pinggiran kota, memancing, menaiki menara sebuah masjid terbesar di kota, dan beberapa lagi yang tak pantas disebutkan di cerita ini.

Sepertinya, cuaca sendu membikin rencana saya tidak berjalan sesuai rencana. Tiba-tiba saja mendung bergulung-gulung. Tak berselang lama, gerimis turun dengan intensitas sedang. Saya yang belum memutuskan akan memilih yang mana, terkurung di ruang tamu. 

Selama satu jam, saya habiskan untuk membaca beberapa buku yang ada di meja. Mulai buku puisi, cerita bergambar milik anak saya, kamus bahasa jawa (yang juga milik anak saya), serta membaca pengantar kumpulan cerpennya Putu Wijaya.

Baru setelah suara gerimis tidak terdengar lagi, saya memeriksanya ke luar. Setelah saya yakin gerimis sudah selesai, ini semacam firasat saja, saya memutuskan untuk melihat wajah kampung kemiskinan pinggiran kota. Walau berkali-kali saya ke sana, tetapi selalu ada debar-debar yang membuat saya ingin kembali.

Sebelum melarikan motor saya, seorang laki-laki lebih dulu membuyarkan niat saya. Dengan berbasa-basi dia mengatakan bahwa ia datang dari jauh untuk bertemu dengan saya. Tentu saya berusaha menolak dengan alasan yang terdengar kurang meyakinkan. 

"Ini menyangkut hidup dan mati Bapak. Sudilah kiranya barang semenit dua menit mendengar ceritaku."

Saya terkejut. Urusan apa hingga menyangkut hidup dan mati saya.

Lalu dia meralat ucapannya. Jika yang dimaksud itu adalah menyangkut hidup dan matinya. Ia dengan berlebihan meminta maaf telah salah memenggal kata.

Tidak ada alasan bagi saya untuk meninggalkan lelaki itu. Sekalipun dalam hati saya memaki habis-habisan. Bahwa saya punya kehidupan yang tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki itu.

Setelah kami duduk di beranda, lelaki itu menceritakan kisahnya. Tetapi saya merasa harus memberinya minuman. Walau saya merutuknya, tetapi setiap tamu yang datang ke rumah saya suguhi minuman. 

Kebetulan hari itu, anak dan istri menginap di rumah mertua. Mertua kangen pada cucu dan anaknya. Sehingga suasana rumah yang biasanya bising, menjadi sepi.

Lelaki itu menyambut minuman yang saya berikan dengan langsung menghabiskannya. Tanpa sisa. Sepertinya selain kehausan, dia tidak memiliki aturan-aturan dalam beberapa hal. Setidaknya, ya diminum perlahan. Tidak menunjukkan sisi bar-bar semacam itu. 

Lelaki itu mengaku namanya Sobirin. Ia tinggal di kota G. Kira-kira 2 jam perjalanan dari rumah saya. Lalu ia menjelaskan jika dirinya membutuhkan nasihat. 

"Kenapa harus saya?" saya memotong pengantarnya yang belepotan.

"Itu tidak bisa kujelasan saat ini. Suatu ketika akan kubuka. Ini demi kebaikan kita Pak."

Lelaki itu tampak serius mengucapkan itu. Sepertinya ia tidak peduli bagaimana reaksi saya. Ia segera melanjutkan.

"Sudah lama aku ingin mengakhiri hidup ini. Sepertinya hanya itu cara yang paling baik untuk keluar dari jurang penderitaan yang membelitku"

Saya tersedak mendengarnya. Tentu saya tidak salah dengar. Ia mengungkapkan dengan jelas. Ia tidak terdengar putus asa. Atau mengatakan itu dengan pikiran yang sangat berat. Justru dia bicara dengan nada optimis. Demikian saya menangkapnya.

"Bapak. Aku minta nasihat dari Bapak. Model kematian seperti apa yang cocok untukku. Agar kematian yang menakutkan bagi sebagai orang itu, dapat kulalui dengan menyenangkan"

Karena lelaki itu tidak menunjukkan gelagat bercanda, maka saya menyikapinya dengan serius pula. Pertama saya tidak bisa menjawab langsung apa itu yang tepat baginya.

Kelebatan pertama dalam kepala saya, saya harus mengajak lelaki itu untuk ikut dengan saya. Berkunjung ke kampung kemiskinan di pinggir kota. Sembari memikirkan jawaban dari nasihat macam apa yang akan saya berikan. 

Lelaki itu tanpa ragu setuju. Ia bahkan mengaku tak tahu jika ada tempat semacam itu.

"Pasti menyenangkan melihat orang-orang miskin. Itung-itung pengalaman spiritualitas" ujarnya.

Sekitar tiga puluh menit, kami tiba di tempat tujuan. Saya memarkir motor di tempat parkir tamu-tamu yang berkunjung. Setiap akhir pekan, kampung ini selalu saja ramai. Orang-orang dari luar kota banyak yang berbondong-bondong ke sini. Saya juga tidak habis pikir, lelaki yang berasal dari kota G ini tidak tahu tempat ini.

Tiba-tiba saja, saya mendapat ilham. Nasihat apa yang harus saya berikan kepada lelaki yang sekarang berdiri di hadapan saya.

Mas Sobirin, demikian saya memulainya sembari berjalan beriringan. Beberapa orang yang baru saja menikmati udara kemiskinan menampakkan wajah yang gembira.

"Suatu waktu saya juga pernah punya semacam pilihan seperti Mas Sobirin. Saya bertekad untuk mengakhiri hidup. Bedanya, bukan penderitaan yang menjadi latar belakang saya. Tetapi kegembiraan yang berlebihan."

Kami terus melangkah perlahan. Sobirin dengan seksama memperhatikan ucapan saya.

"Jika memang penderitaan yang mendera Mas Sobirin, ikuti saya. Saya akan menunjukkan kepada sampean, bagaimana orang-orang mengakhiri hidupnya dengan bijaksana."

Saya tersenyum. Sobirin juga tersenyum. 

Kami memasuki gapura yang terbuat dari bambu. Sebagai penanda jika kami telah memasuki kampung kemiskinan. 

Beberapa satpol pp tampak berjaga-jaga. Tak jarang, pengunjung diserbu puluhan peminta-minta. Bahkan pernah sampai ada yang tertusuk. Toh, kawasan ini tetap ramai. Bahkan pemerintah kota turun tangan dan melestarikannya.

Sobirin yang baru kali pertama takjub dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali ia mengucap istighfar. Matanya berkaca-kaca. Saya tidak peduli, dia mendengar saya atau tidak. Saya terus berkhotbah dengan isi yang tidak saya duga-duga. 

Sepertinya suara saya keluar sendiri tanpa bisa saya cegah. Sobirin yang mulanya takjub kini menjadi histeris. Lelaki itu berteriak-teriak kesetanan. Sepertinya ia sudah menemukan jawaban dari apa yang ia inginkan.

Hujan lebat

Sidoarjo, 14/9/21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun