Setelah beberapa kali saya tidak bisa tidur, saya keluar kamar. Makalah-makalah dari mahasiswa semakin menggunung di meja kerja. Semakin mencekam saja malam itu.
Saya mengambil novel yang tadi saya beli di toko buku. Setelah menyobek plastik pembungkusnya, tiba-tiba ada rasa bersalah kenapa harus membeli buku itu. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba muncul. Kemudian semakin mengental.Â
Novel itu, demikian saya baca di sampul belakangnya, hendak menceritakan tentang kebobrokan penguasa di negeri wakanda. Saya tahu penulisnya. Pernah beberapa kali ketemu di kesempatan seminar.Â
Tetapi pada dasarnya, saya tidak menyukai cara pandangnya. Ia memandang rendah penulis yang abai pada kondisi negara bangsa. Katanya, penulis itu harus mampu menjadi lampu di tengah gelapnya kondisi sebuah bangsa.
Menurut saya, siapapun boleh bersikap. Tidak boleh ada tudingan ini itu dalam proses kreatif. Mengalir saja. Mau memuja negara bangsa, atau memelototi habis-habisan itu pilihan.Â
Novel yang saya pegang ini buku pertamanya yang saya miliki. Dari puluhan judul karangannya. Tiba-tiba saja, saya ingin punya. Saya ingat betul, itulah alasan utama membawanya pulang dari toko buku.Â
Sialnya, setelah saya menyobek plastik pembungkus novel itu, saya merasa telah melakukan dosa yang sangat biadab. Saya letakkan kembali buku itu di meja. Tetapi perasaan berdosa yang menyeruak di dalam tubuh saya semakin menyala.Â
Saya kemudian mengambilnya lagi. Lalu membawanya ke luar rumah. Kaki saya seperti digerakkan oleh kekuatan yang susah saya jelaskan.Â
Tiba-tiba saja saya sudah berada di pinggir sungai. Kira-kira 25 meter dari rumah. Setiap akhir pekan, saya menghabiskan waktu di pinggir sungai ini. Kadang memancing. Kadang membawa beberapa buku dan melahapnya di sini. Kadang sekadar bengong sambil menikmati angin sore.
Beruntung sepanjang perjalanan tak sekalipun bertemu orang lain. Sehingga tidak repot menjelaskan jika ada berbagai macam pertanyaan.
"Mau kemana ini malam-malam?"