Setelah berbulan-bulan kemudian, Ahmad kembali menemui saya. Wajahnya kini berseri-seri. Sangat berbeda dengan pertemuan terakhir di awal Januari.
"Aku menagih janji"
Saya sudah tahu arah pembicaraannya. Tentu saja ia hendak mendengarkan saya mengomentari buku sialan yang diberikan tempo waktu lalu.Â
"Aku tahu kau membacanya. Jangan lama-lama. Sebentar lagi aku ada seminar daring di kampus X."
Saya juga tak kalah siap untuk situasi aneh itu.Â
"Pulanglah. Saya akan kirimkan voice note ke WAmu."
Nyatanya, perlu tiga puluh menit untuk meyakinkan bahwa memang benar saya akan memberi ulasan via voice note. Saya bahkan mengancam akan membakar bukunya bila dia masih ngotot.Â
"Bukan hanya pemerintah yang bisa bakar buku. Saya juga bisa"
Selepas kepergian Ahmad saga bergegas mencari keberadaan buku bersampul biru yang judulnya: Aku Bangga Beribu Babi. Sialnya saya tak bisa menemukan buku sial itu. Sekeras apapun usaha sayaÂ
Ponsel saya berdering. Saya yakin itu Ahmad. Dan memang betul. Lima belas panggilan tak terjawab.
"Saya membaca buku puisi yang kamu berikan itu. Luar biasa. Saya tidak mendapatkan apa-apa setelah perjuangan melahap buku itu. Saya semakin yakin, buku puisi bukan untuk dibaca. Tetapi dibakar. Sekian dan jangan lagi"