Mandala berjalan gontai sore itu. Ia diludahi dan dihajar oleh kawan-kawannya ketika main sepak bola.
Ceritanya, Mandala menendang bola dan bolanya meluncur deras ke arah muka Mahdim. Kiper lawan. Tak ayal, Sampuki langsung berlari ke arah Mandala. Tanpa basa-basi ia meludahinya berkali-kali.
Mandala tidak terima. Ia segera meninju wajah Sampuki. Dari situ pengeroyokan dimulai.
Lima anak laki-laki berebut mendaratkan tangan dan kakinya ke arah Mandala. Mandala tidak berdaya. Ia hanya menangkis. Mundur. Menangkis. Dan sesekali memberikan perlawanan.
Semua teman satu timnya hanya menonton. Tak membela. Mandala menyadari itu. Diperbolehkan main bola saja itu merupakan sebuah kemewahan.
Mandala, ia anak satu-satunya Abu Bira. Abu Bira telah meninggal dua tahun lalu. Di tembak algojo. Ia menjadi otak pengeboman di sebuah hotel kota X.
Ketika itu, Mandala berumur 7 tahun. Ia hidup bersama pamannya. Sang Ibu tidak diketahui keberadaannya. Konon buron. Sampai kini tak ketemu.
Anak teroris, begitu labelnya. Mandala dikucilkan. Semua warga desa, tak sudi anaknya menjadi teroris. Jalan satu-satunya: jauhi Mandala.
Pamannya menyadari betul situasi keponakannya. Tetapi ia bertekad akan membesarkan anak yang tidak bersalah itu. Maka, ia sudah menyiapkan gudang-gudang kesabaran.
Ia memberikan petuah-petuah pada Mandala. Kendati tak semua bisa dilahap keponakannya.
Mandala berjalan gontai sore itu. Tubuhnya yang ringkih terasa sakit bukan main. Ia menyeka darah di bibirnya.