"Sama saja. Sama saja. Sama!" geram Rahmat.
"Jangan esmosi tuan. Pakai saja kepala air. Biar adem" sahut saya tak kuat menahan tawa. Akhirnya meledak tawa itu.
Rahmat tetap manyun.
"Kamu itu golongan siapa? Ngaku deh." suaranya masih kesal.
Saya masih saja tak berhenti tertawa. Setelah Rahmat duduk dan menenggak botol yang berisi air mineral itu baru saya mulai bicara.
"Setuju Tuan besar. Mereka bilang bahwa mereka lainnya suka bikin aturan sendiri terkait ibadah. Yang tidak dicontohkan Rasul. Bid'ah. Tak segan mengkafirkan. Lalu mereka lainnya itu juga tak kalah sengit membantah mereka. Yang radikal dan garis keraslah."
Melihat Rahmat diam saja, saya semakin berani.
"Masalah penutup kepala bagi perempuan. Jilbab. Atau apalah. Yang satu mengusik karena jilbab yang dikenakannya terlalu panjang. Yang satunya juga begitu. Jilbabnya kependekan. Lihat rambutnya itu."
Saya diam. Rahmat masih diam. Saya tambahi.
"Celana cingkrang. Misalnya. Identitas itu dikonfrontasi habis-habisan. Jadi, jadi. Saya setuju kamu. Sama saja. Kalau toh berbeda, ya biarkan saja. Bukankah perbedaan itu rahmat. Perbedaan itu keniscayaan."
Saya merasa sudah terlalu banyak bicara. Saya diam. Rahmat masih saja diam. Matanya menatap jauh ke luar jendela.