"Akhirnya saya dapat A juga. Haha." Teman saya girang. Ia memang membenci daging setengah mati. Tetapi ia mencintai sepenuh hati ayam goreng, ayam kampung, dan segala sesuatu yang keayam-ayaman.
No, ini bukan tentang studi. Nilai A, B, dst. Kalau itu semua akan kompak. Impiannya A+, meskipun usahanya bahkan seperti sinyal E. Tapi tak apa, nilai studi tak dibawa mati. Huaha.
Lanjut!
Tentu nasi bungkus yang ditata rapi di atas baki itu menunya beragam. Ya D, daging. Ya B, Bandeng. Ya T, telur. Sesekali ada Tongkol. Tidak disingkat T. Nanti kacau sama telur.
Sementara saya, membenci A itu. Saya lebih nyaman mengunyah T. Bila tak ada ya D. Sudah itu. Seperti kawan saya yang gemar A itu, jangan tanya alasannya apa. Jawabannya filosofis dan pastinya mudah dipatahkan yang berlanjut debat kusir.
Yah, itu menu-menu warung kopi. Di beberapa tempat istilahnya "giras". Nasi bungkus itu titipan. Sebagaimana gorengan. Kerupuk. Dan kue lainnya.
Titipan? Ya. Misalnya saya buat nasi bungkus. Lalu saya taruh di warung kopi X. Sejumlah sekian. Sorenya saya ambil. Tentu ada bagi untungnya. Sesuai penjualan. Semakin laris, semakin melejit. Hukum universal begitu.
Beberapa warung kopi yang saya singgahi, ada penjual yang menawarkan produknya. Lalu dengan alasan ini itu, ditolak oleh penjaga warkop.
Penawar itu sudah pasti dari satu tempat ke tempat lainnya. Itu namanya usaha. Warkop sendiri sudah tahu ideal barang yang ditampung seperti apa. Rasionalusasi begitu.
Makanya, sesekali mampir ke warkop pinggir jalan. Ikut merayakan usaha mikro. Haha. Lagaknya sok ekonom. Tapi biarlah. Makanlah di situ. Ngrokoklah di sana. Ambil kuenya. Pasti ada wifinya kok. Haha.