Kenapa kamu tidak juga menulis puisi untukku?
: demikian perbincangan dimulai
Kopi sachet yang terkenal itu kembali beraktivitas. Meluncur dari cangkir kuno. Mendarat manis di lepek keramik murahan. Sebelum disruput pemuda dengan penyakit gula kronis.
Masih perlukan puisi ditulis?
: saya balas pertanyaannya dengan sedikit sinis
Kopi sachet yang dipuja sekaligus paling dibenci itu tidak segera menjawab. Ia menghitung sunyi yang mengalir malam itu.
Kenapa kamu tidak juga menulis puisi untuknya?
: dia kembali bertanya
Masih perlukah puisi ditulis tuan Kopi Sachet yang terhormat?
: tukasku sengit
Kopi sachet lagi-lagi menghitung sepi. Ia mengumpulkannya dalam kenangan.
Tuan asap rokok yang Budiman, selamat menikmati bulan Ramadhan. Jangan lupa bikin puisi buat kita, benda-benda yang dianaktirikan peradaban
: ujarnya sembari tersenyum
Oleh jawaban mesra itu, saya pura-pura tidak mendengarnya. Tapi sejak itu, saya kembali merakit sebuah puisi. Puisi pesanan yang kutujukan untuknya. Untuk mereka yang dilindas peradaban.
Wonoayu, 7/4/2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI