Golput sudah pasti akan ikut Pemilu tahun ini. Ia sudah mendapatkan E-KTP yang dirindukan selama hampir 17 tahun. Â Betul, ia kini sudah resmi menjadi warga negara. Sudah berKTP. Sudah pula diundang oleh panitia dalam perhelatan demokrasi terbesar di negaranya.
Di sekolahnya, ia diajari tentang pemilu. Tentang pentingnya demokrasi. Namun yang selalu menyakitkan, namanya selalu dipermasalahkan.
"Dalam alam demokrasi, rakyat bersuara. Menentukan pilihan. Oleh karena itu, suara rakyat harus berdaulat. Harus berpatisipasi. Jangan golput." mata guru yang tengah bersemangat itu tak sengaja berpapasan dengan mata Golput.
Seluruh kelas pecah. Terbahak-bahak. Golput tersenyum kecut. Dulu, ia menyalahkan kedua orang tuanya. Kenapa namanya harus Golput. Kenapa tidak Golpit atau Golpat saja.
Orang tua Golput tidak bisa memberikan alasan yamg memuaskan.
"Bapak juga tidak tahu kenapa harus Golput. Pokoknya itu yang ada dalam kepala Bapak. Ya Golput. Sesimpel itu." ujar Bapaknya suatu sore beberapa tahun lalu.
Golput akhirnya sudah terbiasa. Ejekan teman-teman dan juga gurunya ia anggap sebagai angin lalu. Ia ingin membuktikan, jika sudah saatnya nanti, ia tidak akan golput. Ia akan memilih dalam pemilu.
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Pemilu tiba. Semua syarat sudah ia penuhi. Sudah berKTP. Sudah menerima surat undangan sebagai pemilih. Ia juga sudah menelaah siapa yang akan dipilih.
Maka hari itu, bersama keluarganya berangkat bersama menuju tempat pemungutan suara. Bapaknya tidak pernah mengurusi pilihan Golput. Begitu sebaliknya.
Peristiwa bersejarah itu akhirnya terlewati. Golput telah memilih dalam pemilu pertamanya. Ia pulang menuju rumahnya dengan gembira. Ia sudah membuktikan.