"Enaknya buat apa Pak uang 80 juta?" kata murid saya. Ketika saya baru saja ngucapin salam di depan kelas. Suasana menjadi riuh.
Tentu jika itu diucapkan beberapa minggu lalu, beda soal. Atau bisa jadi tidak muncul pertanyaan semacam itu.
Minggu ini, kota ini dihebohkan oleh terbongkarnya penjualan celana dalam milik artis terkenal. Nilainya fantastis. Sampai 80 juta.
Kasus langka ini langsung menjadi trending. Dimana-mana semua membicarakan celana dalam itu. Bahkan, hal yang tidak saya duga. Di ruang kelas pun ternyata juga terjangkiti wabah isu tersebut.
Sebenarnya juga bukan hal aneh. Mereka bisa mengakses isu itu dari gawai mereka. Tapi bertanya demikian di ruang kelas, tetap saja membuat saya terkejut.
Murid saya sepertinya tampaknya serius. Ia menunggu saya untuk menjawabnya. Dan saya mau tak mau harus bersikap. Tentu saya tak akan menempelengnya. Sudah bukan eranya lagi.
Setelah mengambil napas panjang, saya berdiri di depan kelas. Saya lihat murid murid saya dengan serius. Keriuhan yang tadi pikuk, kini mendadak senyap. Hening.
"Saya minta maaf Pak. Saya salah" ujar murid saya yang tadi bertanya.
Sepertinya mereka kira saya tidak berkenan dengan pertanyaan itu. Mereka pikir saya marah. Padahal, saya berpikir bagaimana menjawabnya. Tentu menjawab dengan elegan.
"Di ruang ini kita belajar. Belajar tentang ilmu-ilmu yang nanti akan kita gunakan di kehidupan sehari-hari. Maka, sebagai penuntut ilmu, kita wajib punya akal pikiran. Berpikir."
Saya berhenti sejenak.