Singkat cerita, gegerlah kampung itu. Perempuan itu ternyata salah seorang guru SD di sekolah negeri satu-satunya di situ. Katanya, tiga hari perempuan itu hilang. Selebihnya, saya tidak mau tahu.
Kasus itu membuat saya harus tinggal di sana. Jadi saksi. Repot. Saya nurut. Saya tinggal di polsek. Bukan di tahanan.
Biar bermanfaat, saya membantu bersih-bersih di sana. Rutinas berminggu-minggu. Sampai kasusnya berakhir. Pembunuhan itu sudah terungkap. Lagi-lagi saya tidak ambil peduli.
Sepertinya, pihak polsek menginginkan saya tetap di sana. Sebagai tenaga kebersihan. Saya menolak. Saya diberi waktu untuk memikirkan. Lalu pesan itu datang lagi.
Bodoh jangan dipelihara.
Itulah akhirnya alasan saya menerima tawaran itu. Sebagai tenaga kebersihan. Saat itu usia saya dua puluhan tahun.
Lima tahun kemudian, saya disekolahkan. Saya nurut saja. Saya disuruh belajar ilmu komputer. Sekolahnya jauh. Maka saya diberi kemudahan. Diberi kendaraan. Siang sekolah, malam bersih-bersih.
Hingga kemudian, saya harus menikah. Saya dinikahkan dengan anak Pak RT. Saya tidak menolak. Demikian juga calon istri saya. Pasrah.
Di pelaminan itu, saya menangis. Mengenang waktu-waktu yang hilang di kampung halaman. Kampung yang telah ambles dalam pikiran saya.
Setelah menikah saya ingin kembali ke kampung halaman. Bersama istri saya. Saya naik motor hadiah dari Pak Kapolsek.
Perjalanan ke Selatan. Membawa saya lari ke masa-masa pengembaraan. Namun setidaknya, untuk sementara ini, saya tidak berusaha memelihara kebodohan.
---
Krian-Sidoarjo
06/01/18