"Bodoh jangan dipelihara"
Itulah pesan terakhir Bapak. Sebelum siang itu tubuhnya ditumbuk kereta api. Lima belas tahun silam.
Pesan Bapak begitu liar berlarian di kepala. Sebagai anak yang tidak pernah membahagiakan orang tua, Â saya bertekad untuk menjauhi ia: kebodohan.
Kala itu, saya habiskan siang hari di kamar. Tidur. Malam harinya, bersama begundal-begundalnya, kami berbuat onar sepanjang malam. Begitulah, sampai Bapak ditumbuk kereta.
Saya sudah memutuskan: hijrah.
Saya tinggalkan kampung halaman. Saya menuju daerah di Utara. Pikiran saya yang membawa kaki ini. Saya berjalan. Terus berjalan. Berpuluh-puluh bulan lamanya. Saya berjalan dari kampung ke kampung.
Semesta nampaknya merestui perjalanan ini. Rezeki selalu saja hadir. Tanpa permisi. Saya tidak kekurangan apapun, termasuk makanan. Tempat bermalam. Dan seterusnya.
Suatu pagi di daerah Utara, saya mendapati seorang perempuan tergeletak di pinggiran sawah. Baunya menyayat. Sepertinya ia terbunuh semalam yang lalu. Atau bisa jadi lebih lama dari itu. Sementara perkampungan yang telah kulewati lumayan jauh. Setengah hari perjalanan.
Saya punya hak untuk tidak peduli padanya. Mayat itu. Namun, pesan Bapak mendadak hadir. Menggedor isi kepala.
Karena belum yakin jika perkampungan di depan jauh atau dekat, saya memilih berlari ke arah sebaliknya. Tentu ketika tubuh ini tak kuat, saya berjalan. Dan seterusnya. Sehingga hampir menjelang tengah hari, saya sudah tiba di perkampungan.
Saya menceritakan detail temuan saya. Lengkap dengan ciri-ciri yang berhasil saya ingat. Lalu beberapa warga mengajak saya ke sana. Kami naik pick-up bobrok. Medan yang buruk, membuat kendaraan sialan itu meremukkan tulang-tulang.