Sebelum saya mengambil sebatang rokok yang kini kuhisap berulang-ulang itu, pembicaraan kami baik-baik saja. Kami bertukar pikiran mengenai nasib Ariyanti, yang suaminya ke Malaysia dan tak pulang-pulang itu.
"Kabarnya suaminya mati" begitu dia antusias. Setelahnya bisa diprediksi kemana arahnya. Perbincangan yang tak akan habis-habis. Saya tak bisa menghitung, berapa kali obrolan bertema itu. Dalam posisi itu, saya hanya manggut-manggut. Sesekali memberikan tanggapan. Biar tidak mematikan pembicaraan.
Suatu malam, istriku memarahiku. Gara-gara tertangkap basah ngobrolin Ariyanti di warung Kang Sukri. Padahal, saya hanya manggut-manggut. "Jangan ngomongin janda. Itu biadab...." dan beraneka macam lagi omelan yang membuat telinga hendak pecah.
Sore itu, ketika saya mulai menikmati rokok, Markuno tiba-tiba membanting topik obrolan. "Merokok adalah hak setiap orang.. " melihat gelagatnya, saya berusaha menduga-duga.
"Tapi, lihat tempat dong. Jangan asal sedot. Itu biadab. Tidak bermoral. " sebelum sempat saya mengomentari, dia sudah menambahi dengan suara berenergi kebencian.
"Betul saja pemerintah membuat aturan tentang larangan di tempat publik. Meskipun, meskipun teknis di lapangan hanyalah omong kosong. Itu bukan saya yang bilang, itu semua orang yang bilang".. Markuno mengambil air mineral. Menenggaknya. Sementara wajahku, tak karuan dihujani cipratan ludah bajingan sialan itu.
"Lihat. Tetanggaku nabrak mobil parkir. Gara-gara ada pengendara merokok di jalan Raya. Dia enak sedot-sedot. Sementara percikan apinya bertebaran. Kurang biadab bagaimana?" ia mengepalkan tangannya. Sementara saya, berdoa perbincangan level neraka ini segera berakhir. Lalu cuci muka dengan bahagia.
Surabaya, 20/10/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H