Artikel ini bukan hendak menanggapi tulisan seorang yang saya kagumi, Prof. Salim Said yang pernah menulis sebuah tulisan pendek berjudul "Jokowi Melawan Debt Collector", mungkin tulisan ini hanya akan melengkapinya saja.Â
Satu Putaran Beres! Begitulah Prabowo-Gibran yang lewat hasil suara yang muncul di televisi sudah menunjukan berhasil. Intinya adalah 50+1 lebih sudah berhasil diraih dan kini saatnya ada perlawanan dari pihak sebelah, entah melawan dengan cara "Hak Angket" ataupun lewat MK, itu biasa dalam Pemilu sejak 2009.Â
Namun, yang menarik disini adalah bisa dilihat bahwa "Pengaruh Jokowi" ternyata se-demikian besar.Â
Tulisan saya sebelumnya yang saya tulis Januari 2023 silam itu, lebih terfokuskan pada bagaimana kinerja Jokowi untuk bisa memberikan pengaruhnya tetapi memang ada wajah yang tidak ada di surat suara yaitu wajah Jokowi sendiri.Â
Memang Jokowi bukanlah partai politik, terbukti dengan slogan "PSI Partainya Jokowi" , belum mampu memberikan efek bahkan sampai saat ini belum bisa menyaingi partai yang terbilang kecil secara suara tetapi karena efek akar dan historis yang kuat yaitu PPP.
Pemisahan kuat antara Presiden Jokowi sebagai politisi dengan organisatoris partai memang sangat kental. Nah, cerita yang menarik adalah bagaimana misalnya Megawati mengikhlaskan Jokowi lewat nasihat yang diberikan oleh politisi senior PDIP, Sabam Sirait, untuk mencalonkan Jokowi daripada Mega sendiri yang maju sebagai Calon Presiden pada 2014.Â
Jokowi bukanlah orang yang muncul sebagai seorang elit partai melainkan dikenal dengan gaya rakyat-nya yang "Jokowi adalah kita" ditambah dengan kinerja di periode pertama yang makin menguatkan suaranya di Pilpres 2019.Â
Kisah tentang bagaimana isu akan Jokowi dan PDIP bisa dibaca memang sejak awal kekuasaan Jokowi sendiri. Misalnya, Jokowi tidak melantik Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri tetapi diganti dengan jabatan Kepala BIN. Tapi mari kita berbicara apa yang terjadi sejak belakangan terakhir.
Ketika Putusan MK yang memberikan semacam lampu hijau untuk Gibran, disitu mulai ada semacam ketidaksetujuan. Bahkan , ada upaya untuk menghalangi Gibran untuk "jangan kemana-mana" dengan menjadikannya sebagai Juru Kampanye Ganjar, namun usaha itu tidak berhasil. Akhirnya, momentum dipegang oleh Prabowo dengan menjadikannya sebagai Calon Wakil Presiden.Â
Apakah ada restu? Sudah jelas, pasti ada restu. Tetapi, bacaan dan tafsiran saya mengatakan bahwa dengan ini maka jelas "Jokowi Berhasil Melawan Debt Collector" dengan menggabungkan dirinya pada Prabowo yang barangkali memang sengaja diajak masuk untuk bisa berpolitik selanjutnya di 2024 sejak Prabowo di 2019 dipilih menjadi Menteri Pertahanan.Â
Dalam bacaan saya, Jokowi ketika ikut mendeklarasikan Ganjar pada April 2023 memang seperti "sampingan" saja. Padahal, kontes King Maker ini kan sebenarnya ada Jokowi disitu bukan hanya Mega. Nah, strategi King Maker ini pastinya memiliki perbedaan. Jokowi bukanlah representatif PDIP semata, melainknan ia juga memiliki loyalitas dan patronase-nya sendiri, hanya saja ia menggunakan PDIP sebagai politik-legal untuk bisa maju sebagai Presiden.
Namun, Ganjar tetaplah seorang PDIP dari sejak dahulu. Jokowi bukan, ia punya baju kotak-kotak, gaya yang dianggap merakyat natural (bukan ikut-ikutan) dan loyalitas yang terbentuk sejak ia populer menjadi Gubernur DKI Jakarta. Namun, tidak ada makan siang yang gratis, kendaraan politik-legal haruslah yang utama untuk bisa maju sebagai Presiden. Jokowi menggunakan kendaraan PDIP, Nasdem , PKB, Hanura dan lain sebagainya.Â
Mulailah muncul isu-isu bahwa Jokowi itu sangat dibayangi oleh sinar "Surya" di sekitaran Istana yang berhasil memberikan kursi Jaksa Agung. Lalu, banyak Menteri-menteri yang diberikan kepada PDIP hingga akhirnya ada perkenalan politik baru yang mempersilahkan Golkar-PAN dan kelak PPP hingga di periode kedua sangat berkekuatan penuh dengan masuknya Gerindra.
Intinya, lirik lagu yang dibuat oleh Eka Gustiwana pada Debat Capres 2014 yaitu "Bukan bagi-bagi kursi, bagi-bagi Menteri," sepertinya hanya lirik yang indah.Â
Ketergantungan pada partai di Parlemen menurut saya sudah selesai. Golkar, PAN, Gerindra dan apalagi Demokrat sudah cukup untuk melakukan transisi berakhirnya jabatan Jokowi yang sebentar lagi akan berakhir pada Oktober 2024 apalagi partai yang ada di kubu 02 ini seperti "oke-oke" saja dengan arahan karena jagoan menang plus partai mereka lolos ke Parlemen.Â
Tapi, partai-partai seperti PKB, Nasdem, PDIP bagaimana? Padahal partai ini yang memberikan kendaraan, kok sekarang diujung yang harusnya mesra malah seperti asing, bahkan ingin melakukan Hak Angket?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H