Senjata (kekerasan) tidak pernah kompatibel dengan wahana politik yang komunikatif! Tetapi apa boleh buat, Luhut Binsar Pandjaitan alias LBP lebih cepat menyelesaikan masalah di dalam Kabinet Jokowi dan urusan penting yang diberi kepercayaan oleh Presiden , itu tidak dapat disalahkan! Mengingat memang kinerja Luhut memang sangat tuntas dalam menyelesaikan pekerjaan. "Menteri segala urusan!" , kira - kira begitu dan ini yang saya takuti sebagaimana yang dikatakan oleh Salim Said , kalau tokoh politik (sipil) tidak mampu mengelola negeri ini , maka rakyat akan membuka pintu kepada tentara.
"Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara" ucap Nasution kepada Bung Karno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat (hal.232 - edisi revisi). Ini barangkali patut direfleksikan, karena orang yang menjawab "Pnak" kepada pertanyaan "Piye kabare, enak jamanku to?" barangkali orang yang merasa aman dan nyaman karena tidak menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk ribut di demokrasi seperti ini yang penuh dengn pertarungan buzzer.Â
Pasca reformasi , semua harus serba demokratis! DPR yang dikembalikan fungsinya sebagai fungsi legislasi yang bukan hanya sebagai tukang stempel saja ternyata mengeluarkan juga produk legisalsi yang kemudian hari dinyatakan inkonstitusional alias bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Apa ini? Kenapa orang yang masuk lalu duduk di kursi empuk dengan gaji melimpah di dalam Gedung itu dengan ongkos mahal dan biaya kampanye yang mahal justru melakukan sesuatu yang sia - sia? Tidakkah ia sungguh - sungguh menyadari akan hal itu? Kalau rakyat menyadari bahwa ongkos yang seharusnya bisa digunakan untuk melakukan subsidi, Â pemenuhan kesejahteraan atau Pemerintah bisa dengan ongkos itu melaksanakan Pasal 34 UUD 1945 yaitu memperbaiki hidup Fakir Miskin dan memberikan penghidupan yang "layak" ,maka jangan - jangan kedepannya akan ada yang berpikir kalau pemilihan legislatif tak begitu penting lagi dan dengan demikian DPR tak perlu ada. Maka , DPR yang sudah mewakili rakyat dari segi hidupnya yang mewah dan ketika itu dilenyapkan , maka tak ada yang disebut lagi sebagai demokratis. Kekecewaan akan demokrasi oleh Bung Karno dan kekecawaan akan rezim Militer oleh masyarakat yang mana militer saat itu menjadi topangan Orde Baru dengan menikmati warisan Dwifungsi era Bung Karno , seharusnya menjadi sebuah pelajaran. Nilailah itu semua bukan berdasarkan hitam atau putih, tetapi dengan perspektif yang luas dan dengan sebuah pembenahan yang mau tidak mau harus dilakukan.
Dalam buku Penyambung Lidah Rakyat, sangat diakui kalau Bung Karno mengetahui bahwa rakyatnya susah saat ia mengadakan Sea Games 1962. Ia (Bung Karno) menyadari betul persoalan - persoalan yang sebenarnya terjadi dibawah. Tetapi , apa dan kenapa itu ia biarkan? Demi harga diri! Ia melakukan Operasi Irian Barat dan melakukan stabilitas politik dengan istilah "Terpimpin" tanpa kesejahteraan ekonomi dan sosial yang memadai saat itu. Katakanlah misalnya , Film G30S/PKI, gambaran rakyat yang susah dalam beberapa scene menunjukkan bagaimana keadaan saat itu. Apa yang terjadi? Stabilitas Politik , Nasakom , Demokrasi Terpimpin pada akhirnya lenyap!Â
Keadaan yang sudah tak terkendali ditambah dengan peristiwa Gestapu , akhirnya mendorong rakyat yang sangat anti-komunis dan rakyat yang susah keadaan ekonominya untuk menumpas PKI dan sekaligus menjatuhkan Bung Karno serta membukakan jalan untuk Soeharto berkuasa. Hasilnya? Ekonomi stabil dan rakyat mendukung. Apa relevansinya untuk keadaan saat ini? Saya mengutip pengantar Alan Woods terhadap Manifesto Komunis dengan judul 150 Tahun Manifesto Komunis yang menurut saya sangat realistis :
"Jelas bahwa , agama , politik , moralitas , filsafat dan lain sebagainya memainkan peran di dalam proses sejarah. Namun , di dalam analisis terakhir , keberhasilan dari sistem ekonomi - sosial tertentu akan tergantung pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan dasar umat manusia. Sebelum mengembangkan agama , gagasan politik atau filsafat , manusia harus makan terlebih dahulu, mengenakan pakaian dan memiliki atap rumah diatas kepalanya."
Menurut Salim Said dalam bukunya,  dengan konsep Bung Karno yang kemudian dikenal sebagai Trisakti itu tak bisa terlaksana selama 20 tahun ia berkuasa. Kenapa? Pemenuhan kebutuhan , kesejahteraan rakyat dan dijadikannya Politik sebagai Panglima namun tidak melihat sisi ekonomi serta kondiisi nyata adalah konsep yang sia - sia. Baru pada saat dijadikannya Ekonomi sebagai Panglima , rakyat barangkali merasa bahwa kepemimpinan Soeharto jauh lebih baik dibandingkan Bung Karno yang menjadikan Politik sebagai Panglima. Kenapa? Inflasi saja begitu besar dan dalam beberapa catatan , ekonomi di era Bung Karno sangat tidak baik. Dan jika ada jawaban yang mengatakan "Rindu jaman Soeharto" terhadap pertanyaan "Piye kabare, penak jamanku to?" adalah jangan dianggap jawaban yang rindu akan sebuah otoritarian tapi stabilitas politik , kesejahteraan dan tidak adanya riah - riuh hoax , ujaran kebencian  seperti saat ini yang pada akhirnya hanya membuang - buang waktu dan tidak mencapai kesejahteraan yang merata.Â
Jangan berpikir secara ad-hominem, tetapi, apa yang disampaikan Alan Woods adalah realistis adanya, yaitu , kita perlu makan terlebih dahulu sebelum berbicara mengenai filsafat politik , gagasan atau ide . Tiongkok ketika pasca Mao Zedong yang saat itu dipimpin oleh Deng Xiaoping pun melakukan hal yang serupa , dengan membiarkan pada ekonomi pasar , Tiongkok bisa menjadi besar seperti saat ini dan "Komunis" yang diandaikan oleh Marx pun sepertinya sudah dianggap tak relevan lagi oleh negara yang mendukung komunis di era Perang Dingin.
Sebagai penutup, saya pikir belajar dari sejarah sangat penting. Jas Merah! Soal ketimpangan , kesejahteraan dan menjadikan sila ke-5 sebagai Das Sein adalah barangkali yang patut dipertimbangkan. Sila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" , bisa Anda baca sebuah wawancara Jenderal Nasution dengan Tempo Interaktif, bahwa musuh terbesar kita adalah ketidakadilan sosial, sebab, tanpa keadilan siapapun bisa mengacau. Â
Apa jadinya , kalau korupsi secara terang - terangan, masuknya dominasi Res Privata (Kepentingan Privat) ke dalam Res Publica (Kepentingan Publik) dan itu dilakukan setelah reformasi malah korupsi semakin terdesentralisasi? Rakyat justru makin tak percaya terhadap DPR. Parpol yang kadernya makin hari banyak terjerat korupsi dan DPR yang dengan sikapnya yang kerap mengundang ketidakpercayaan masyarakat , justru akan mengkikis demokrasi itu sendiri. Tak ada gunanya para akademisi , intelektual selalu menyuarakan "Harus Demokratis!" apabila nantinya rakyat justru sangat memerlukan stabilitas dan orang yang bisa lebih dipercaya untuk mengurus negeri ini, siapa dalam sejarah yang bisa mengambil alih ini? Tentara. Institusi demokrasi , parpol dan DPR justru selalu mengalami ketidakpercayaan. Anda ingat? Ketika pemilu kertas suara justru ditulis oleh pemilihnya "Koruptor Semuanya" ? Anda tak bisa menyalahkan orang itu apabila ia sudah jenuh dengan kondisi yang seperti ini.Â
Dalam How Democracy Die , justru para demagog dan diktator itu lahir dari demokrasi itu sendiri, bukan melalui kudeta militer yang sering terjadi pada era Perang Dingin. Sebagaimana yang dikatakan oleh Margarito Kamis bahwa pemimpin jahat itu pernah lahir dalam demokrasi. Dan , dalam sejarah kita , yang membuka pintu masuknya militer jutsru adalah sipil! Maka , ancaman demokrasi sesungguhnya ada di dalam demokrasi itu sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam Buku VIII The Republic Plato, mengenai evolusi rezim, bahwa rezim apapun itu (Timokrasi, Oligarki, Demokrasi dan Tirani) tak lahir dari batu melainkan ada dalam watak manusia itu sendiri. Jadi, ketika kebebasan dicampur dengan hoax, ujaran kebencian dan isu SARA semakin menjadi - jadi hingga tak terkendalikan ditambah dengan keadaan sosial , ekonomi dan politik yang kacau, tak jarang rakyat memerlukan kepastian dan kemungkinan akan melahirkan tiran yang bisa mengatasi semua persoalan itu sangat mungkin.