Mohon tunggu...
Alit Teja Kepakisan
Alit Teja Kepakisan Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis di KOPPI

Menulislah dan tetap berpikir!

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR, Tentara & Imajinasi Kekecewaan

13 Juni 2023   14:24 Diperbarui: 13 Juni 2023   21:12 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari : https://mpr.go.id/ppid-image/74141127_Kompleks-Parlemen.png gambar

Ini hanyalah suara rakya biasa!

Setelah jatuhnya Soeharto, salah satu tuntutan yang dikemukakan adalah dihapuskannya Dwifungsi. Dan , hari ini kita masih menikmati hasil dari reformasi yaitu hidupnya demokrasi. Akan tetapi, dihapuskannya Dwifungsi atau dibatasinya sebuah masa jabatan Presiden , apakah sudah usai semua persoalan dengan memilih demokrasi? Tentara yang menjadi landasan Orde Lama dan Orde Baru sebagai kekuatan politik sebenarnya bisa dilihat sebagai "Kelelahan Demokrasi". 

Lelahnya demokrasi di era Orde Lama berasal dari para elite, yaitu Soekarno dan Nasution yang kemudian ketika Demokrasi Terpimpin beserta Nasakom-nya runtuh , dinikmati oleh Orde Baru yang sebenarnya mendapatkan kekuatan dari Orde Lama yaitu Golongan Karya dan Tentara (Lihat buku David Reeve, Golkar : Sejarah yang Hilang). Namun hari ini, pasca reformasi, lelahnya demokrasi menunjukan gejalanya melalui sipil. Apa sekiranya alasan yang bisa memperlihatkan hal itu hari ini?

Misalnya saja konteks hari ini kita menggunakan data, hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) Laporan Hasil Survei LSI  yang dirilis pada 09 April 2023 menunjukan bahwa TNI masih lebih dipercaya oleh rakyat ketimbang DPR dan partai politik yang merupakan hasil dari demokrasi dengan kertas , saksi , penghitungan dan kotak suara yang biayanya begitu mahal. Hal ini saya rasakan ketika membaca buku Penyambung Lidah Rakyat yang bercerita mengenai Peristiwa 17 Oktober 1952 yaitu kekecewaan para tentara yang saat itu dipimpin oleh Kolonel Nasution dan rekannya di Tentara menuntut untuk membubarkan Parlemen. 

Saya membaca kalimat dari Kolonel Nasution dalam buku itu dan bagi saya tuntutan itu memang benar adanya , bahwa kalau tokoh politik yang menyatakan perang tetapi yang gugur adalah sang prajurit! Apa ini? Dalam alam politik seperti Indonesia hari ini , tentu tidak seperti 1950 - 1959 yang mengalami jatuh bangun kabinet. Tapi situasinya barangkali disebabkan oleh para pemegang kekuasaan yang saat itu berasal dari sipil. Dengan kondisi hari ini yang korupsi dimana - mana, cap DPR  sebagai "lembaga korup" dan berkuasanya sipil tidak mampu meraih kepercayaan maksimal di dalam Parlemen adalah bukti adanya ketidakpercayaan yang disebabkan oleh tindakan dan perilaku mereka sendiri . 

Lihat saja DPR setelah reformasi, katakan saja kemarin ketika UU Ciptaker dinyatakan tak memenuhi partisipasi dan itu dinyatakan inkonstitusional oleh MK, apalagi dengan peristiwa dimatikannya "Mic" malah makin menjadi - jadi rakyat semakin tidak puas dengan DPR. Ini kemudian melahirkan persepsi yang menjadi akar kuat dalam memori publik bahwa DPR tak mendengar aspirasi! Belum lagi dua kasus besar di Komisi III kemarin yaitu Kasus Sambo dan Kasus Pencuciang Uang 349 Triliun, apa yang terjadi? 

Rakyat justru lebih mendukung Mahfud MD yang dianggap kerap menyampingkan prosedur dengan "cuitan Twitter" andalannya daripada DPR yang kritis dan "Si Paling Prosedur", maka tak jarang apabila rakyat berkomentar di sosial media "Yang setuju DPR dibubarkan Like!" atau misalnya mengubah kepanjangan DPR menjadi "Dewan Pengkhianat Rakyat" dan pertanyaannya adalah apakah itu bisa dibenarkan?

Saya tidak membenarkan atau menyalahkan. Tapi itu menunjukan realitas bahwa tingkat kejenuhan rakyat terhadap para pejabat - pejabat yang dipilih. Bung Karno dulu mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan Gus Dur mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan DPR karena dianggap DPR seperti Taman Kanak - Kanak. 

Saya makin berpikir bahwa UUD 1945 Pasca Amandemen , yang memberikan kekuasaan yang sama antara eksekutif dan legislatif justru legislatif yang pada era  Orde Baru  hanya menjadi tukang stempel (baca : persetujuan), malah tak mendapatkan kepercayaan, atau jangan - jangan reformasi hanya menggantikan korupsi yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi? Kalau pun kelak ada Presiden yang memiliki kekuatan sipil yang kuat dan ia memiliki kekuatan Tentara sebagaimana Bung Karno dengan Jalan Tengah dan menjadikan Angkatan Darat sebagai kekuatannya di alam Demokrasi Terpimpin, maka kalau ada Presiden seperti itu dan  menyatakan Dekrit Membubarkan DPR, saya sedikit yakin akan banyak yang mendukung. Saya tak menakut- nakuti , saya tak mendukung hal itu dan tentunya saya berkata ini untuk kita semua sadar memperbaiki diri. Karena , makin hari , sipil justru memberikan jalan kepercayaan yang begitu tinggi kepada Tentara dan tentu itu tak bisa disalahkan apabila ia sudah jenuh dengan kondisi seperti ini.

Sama halnya dengan polisi, di era Jokowi, purnawirawan banyak menduduki jabatan yang strategis di lingkungannya. Seperti Tito yang menjadi Menteri Dalam Negeri , Budi Waseso yang dari BNN menjadi Kepala Bulog dan Budi Gunawan yang menjadi BIN misalnya. Bahkan, tak kalah juga dari tentara  seperti Luhut , Prabowo, Hadi Tjahjanto, Moeldoko dan tokoh tentara lainnya yang pernah sebelumnya menduduki jabatan di kabinet Jokowi. Militer, menduduki jabatan sipil! Itulah keresahan Robertus Robet yang pernah tersangkut kasus akibat orasinya yang mengkritik habis masuknya militer ke dalam politik sipil pada 2019. Dengan berbasis pada gagasan Republikanisme dan mengecam masuknya militer  di jabatan sipil , saya pikir itu adalah salah satunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun