Karena perseteruan itu menyebabkan pembelahan dalam pemerintahan Washington sendiri pada periode pertamanya dan dia melihat berpotensi berbahaya jika pembentukan partai politik itu diteruskan karena akan menyebabkan istilah musuh politik. Bahkan menurut Washington kepentingan bangsa diatas segalanya menjadi kepentingan partai dan itu berdampak buruk selain itu pragmatisme yang menggerogoti membuat kepentingan politik menjadi pengabaian terhadap kepentingan masyarakat banyak dan pengutamaan kepentingan partai bisa saja terjadi. Bahkan saat pembentukan konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1787, George Washington tidak mengidealkan partai politik masuk ke dalam konstitusi berbeda dengan di Indonesia yang memasukkan partai politik ke dalam konstitusi.
Pidato perpisahan George Washington di ujung periode kedua memberikan pesan tentang bahayanya faksi atau partai politik dan ketakutan George Washington terbukti saat kerusuhan awal tahun 2021 di Gedung Capitol yaitu pendukung Presiden Donald Trump saat itu. Pidato George Washington tentang bahaya faksionalisme dibacakan kembali oleh Senat pada tahun 1862. Di Kongres sendiri pernah terjadi adu fisik yang dikenal sebagai Griswold vs Lyon, tetapi saat peristiwa ini terjadi faksionalisme partai belum benar-benar terbentuk karena insiden ini adalah terkait dengan pendukung John Adams pada tahun 1798.
Ketakutan George Washington yang menjadi kenyataan tentang faksionalisme pun tidak terhindarkan selama perjalanan Amerika Serikat menjadi negara merdeka selama lebih dari 100 tahun dengan berbagai peristiwa yang terjadi dengan melibatkan partai politik seperti skandal Watergate yang merupakan skandal politik sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat. Tetapi hal serupa pernah terjadi di Indonesia, sejarah partai politik di Indonesia tidak hanya bisa dilihat ketika menetapkan PNI sebagai partai tunggal tetapi harus melihat gerakan politik ke belakang pada masa Hindia Belanda.
Aktivitas politik atau organisasi di Indonesia sudah terjadi saat munculnya organisasi Budi Utomo dan  terpecahnya SI menjadi dua bagian yaitu SI Putih dan SI Merah, setelah perpecahan itu SI Merah akhirnya menjadi organisasi politik yaitu PKI ( Partai Komunis Indonesia ) yang menjadi partai pasca pemberontakan Tsar di Rusia pada tahun 1917 lalu ada Partai Nasional Indonesia (PNI) hingga pemberontakan PKI pada tahun 1926 terhadap Hindia Belanda namun gagal dan hingga kekalahan Belanda di Indonesia pada tahun 1942 Jepang mengeluarkan sebuah maklumat yang melarang segala kegiatan partai politik saat itu.
Hingga proklamasi kemerdekaan oleh Bung Karno dan keluarnya sebuah penetapan pada tanggal 23 Agustus 1945 yang menetapkan PNI sebagai Partai Tunggal tetapi penetapan itu menjadi tidak berlaku kala dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik dan sejak saat itu sistem multipartai menjadi digunakan bahkan saat UUDS 1950 dan pemilihan umum tahun 1955 sistem multipartai masih digunakan hingga akhirnya partai politik disederhanakan menjadi dua golongan saat orde baru yaitu golongan agamis dan golongan nasionalis.
Dan setelah reformasi pada tahun 1998 dan pemilihan umum dilakukan pada tahun 1999 sistem multipartai kembali diberlakukan hingga upaya purifikasi sistem presidensial dilakukan pada saat perubahan UUD 1945 sistem multipartai digunakan sama halnya di beberapa negara benua Afrika pada tahun 1980-an sistem multipartai juga diberlakukan. Tetapi banyak tulisan yang mengatakan bahwa sistem multipartai terkadang membawa bencana yaitu terhadap stabilitas pemerintahan, khususnya sistem presidensial.
Dalam konsep presidensial pemisahan tegas antara eksekutif dengan legislatif terkadang membawa gencatan senjata bahkan kudeta itu sendiri sebagai contoh yang terjadi di Venenzuela pada tahun 2002,karena ketegangan antara para pihak eksekutif dan legislatif apalagi jika dikaji dalam sistem parlementer jika berbagai warna ada dalam parlemen siapa yang bisa menjamin bahwa stabilitas itu terjaga? Sistem dwi partai yang diberlakukan orde baru membawa kestabilan pemerintahan yang sangat stabil, bahkan menurut Saldi Isra pemerintahan selama 32 tahun itu sangat stabil bahkan DPR saat itu hanya menjadi stempel.
Dalam disertasi Mahfud MD "Politik Hukum" dikatakan bahwa Bung Karno pada tahun 1956 kecewa terhadap maklumat (langkah kebijakan) yang dikeluarkan oleh Bung Hatta yaitu kebijakan Maklumat 3 November 1945 yang akhirnya membuat tidak stabilnya pemerintahan dan karena ketidakstabilan pemerintah itu jatuh bangun kabinet terjadi  saat konstitusi UUDS 1950 yang menggunakan sistem parlementer yang dikenal sebagai demokrasi liberal.
Jika ditinjau dari 17 Agustus 1950-  Dekrit 5 Juli 1959 benar bahwa pemerintahan sering berganti-ganti yaitu dari Kabinet Natsir, Burhanudin Harahap hingga Ali Sastromidjojo dan kabinet lainnya bahwa tidak salah selalu berganti-ganti bahkan dengan kurun waktu yang tidak lama karena parlemen saat itu dilaksanakan oleh banyak warna alias multipartai bahkan saat UUDS 1950 juga memiliki tugas untuk membentuk konstitusi baru dan tentu menelisik sejarahnya sebelum UUDS 1950 yaitu sebelum kemerdekaan  perdebatan Nasionalis dan Agamis memang sangat kuat apalagi melihat komposisi saat UUDS 1950 yaitu Masyumi, PNI, NU, PKI sangat menguasai parlemen dan konstituante dianggap gagal melaksanakan tugasnya sehingga dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959. Dan dalam disertasi itu disebutkan juga bahwa saat demokrasi liberal 1950-1959 juga terjadi konflik sosial hingga menyebabkan terjadinya peristiwa seperti PRRI yang diakibatkan krisis politik yang terjadi saat itu dan konstituante saat melaksanakan tugasnya kembali terjebak antara Golongan Agamis dan Golongan Nasionalis.
Hal serupa terjadi pada Perancis pada tahun 1958 yaitu saat Jendral Charles de Gaulle memandang ketidakstabilan itu berasal dari kesalahan para politikus masa itu yang mempraktikkan multi partai dan akhirnya membuat pemerintahan sangat lemah hingga akhirnya Charles de Gaulle mempraktikkan pertama kali Sistem Semi-Presidensial dan dirinya menjadi Perdana Menteri pada tanggal 1 Juni 1958. Dengan ketidakstabilan itu secara sah De Gaulle menjadi pemimpin pemerintahan.
Baik sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer dalam beberapa buku menyebutkan memang sering kali membawa masalah pada kestabilan pemerintahan itu sendiri, jika dalam sistem presidensial banyak sekali yang mengatakan hal itu meski kedudukan eksekutif sangat terpisah dengan legislatif tetapi bagaimana jika terjadi pembelahan hingga eksekutif tunggal yang kuat gagal mengaplikasikan idenya ke dalam kebijakan politiknya?