Jikalau terlalu banyak tangan-tangan elit politis yang bermain dalam suatu pemerintahan, maka yang terjadi adalah tarik menarik kekuasaan mana yang lebih kuat. Padahal sistem yang ada menyatakan bahwa dalam suatu sistem presidensial, Presiden mempunyai kekuasaan yang cukup besar (pembatasan sesuai UU yang berlaku). Tetapi kenyataan-nya bahwa ada beberapa kelompok elit (dan kaki tangannya) justru membelenggu ruang gerak presiden, parahnya justru dari internal yang katanya dulu pendukung presiden Jokowi. Semuanya unjuk kekuasaan membuat gaduh jalannya pemerintahan yang pada akhirnya nasib rakyat hanya dipermainkan dan diabaikan.
Mungkin anda para kompasianer sering mendengar/familiar istilah hukum rimba, yaitu hukum yang berlaku yang menyatakan siapa yang menang atau yang kuat dialah yang berkuasa (KBBI). Kalau dilanjutkan dengan kekuasaan-nya adalah memberlakukan dengan semena -mena tanpa memperhatikan dampak buruk yang dihasilkan. Umumnya kebijakan atau apapun namanya merupakan usaha Pemerintah untuk kesejahteraan dan ketentraman hidup rakyat yang diperintah tetapi saat ini, justru rakyat semakin susah malah terjadi kegaduhan politik yang tidak perlu. Bedanya atau unik-nya dengan kekuasaan otoriter (penguasa tertinggi sangat berkuasa), tetapi Sang penguasa tertinggi (Presiden) justru terasing di belantara hutan rimba kekuasaan artinya beliau tidak kuasa atau malah tidak tahu menahu mengontrol maupun mengawasi kebijakan maupun keputusan strategis yang diambil Pemerintahannya sendiri. Berikut ini adalah kebijakan maupun keputusan yang hanya menggunakan kekuatan hukum rimba elit kekuasaan.
Kebijakan/Keputusan Hukum Rimba:
- Pemberlakukan kenaikan BBM disaat harga minyak dunia turun drastis, catatan: pada kondisi normal untuk penghematan APBN kebijakan ini tidak bermasalah, tetapi salah satu parameter yang ada bahwa harga minyak mentah malah turun drastis sehingga hanya di Indonesia premium bersubsidi mendekati harga bensin mutu tinggi, padahal kebijakan ini berdampak luas untuk rakyat kecil;
- Pengangkatan Menteri dan Pejabat setara lainnya, yang ternyata lebih pada kepentingan pragmatis elit kekuasaan sangat beda waktu kampanye, sebagai contoh pengangkatan Menteri2 tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, Staf Kepresidenan cenderung sebagai pembelenggu ruang gerak presiden;
- Dualisme kekuasaan DPR dimasa awal, jikalau tidak adanya campur tangan atau kedewasaan politikus senior mungkin jalannya pemerintahan Jokowi akan stagnan dan DPR asli dapat memboikot kebijakan RAPBN sebagai salah satu kebijakan strategis, Sebagai catatan peran Jokowi sangat minim disini;
- Pengkebirian atau mereduksi kewenangan lembaga KPK, menurut saya ini menarik Pemerintahaan Jokowi dengan gagah perkasa malah membuat KPK hampir lumpuh, Jokowi tak kuasa membendung pelemahan KPK (hanya dalam 100 hari kekuasaanya), beda dengan janji kampanye dulu ingin memperkuat KPK, menurut saya oknum KPK salah dukung saat itu, terbuai dengan berita media;
- Beberapa elit kekuasaan pemerintahan bertindak blunder/memberlakukan hukum rimba, baik dengan pernyataan maupun tindakan intervensi kekuasaan. Berikut ini contoh beberapa kasus keputusan hukum rimba, antara lain:
- Menko Polkam, membuat pernyataan menafikan peran masyarakat pendukung KPK sebagai masyarakat tak jelas, belum lagi terhadap campur tangan terhadap partai Golkar. Menteri ini dari elit Partai Nasdem yang katanya mempunyai slogan canggih, tetapi pilihan menterinya dibawah standar malah hampir semuanya,
- Lembaga Kepolisian, lembaga ini potensial out of control, jadi sulit untuk menilai bahwa tindakan hukumnya murni penegakan hukum atau malah hukum rimba untuk elit kekuasaan, misal kriminalisasi beberapa pimpinan dan penyidik KPK dan juga para pendukungnya,
- Menteri Hukum dan HAM, beliau dengan terang benderang memberlakukan kebijakan kontroversial yang jauh dari janji2 kampanye, misal : remisi hukuman para koruptor (walaupun Jokowi tidak setuju! Apakah dindahkan?), intervensi kedalam partai politik, menerbitkan SK Kepengurusan PPP Romi (secara super kilat) dan Intervensi Partai Golkar, (menurut saya ini fenomenal dimana elit kader partai PDIP yang tadinya bukan siapa2, dengan kekuasaanya sebagai Menteri Hukum dan HAM menerbitkan keputusan yang sangat kontroversial mengakui dan menerbitkan SK Kepengurusan Golkar Kubu Agung L, yang saya kuatir-kan elit kekuasaan tertentu juga menunggangi menteri ini. Menurut saya iniberbahaya disamping aroma hukum rimba yang terang benderang, ini akan membuat gaduh perpolitikan di Indonesia).
- Upaya bodoh/cara rimba pemblokiran situs Islam oleh Menkominfo dan BNPT, yang tanpa konfirmasi dulu kepada pihak terkait artikel manakah yang mendorong radikalisme, cara ini mirip yang dilakukan jaman Orba, yang dulu saat kampanye katanya mereka lawan.
Kalau berbicara per-politikan di Indonesia adalah bagaimana cara merebut kekuasaan, menang-kalah/siapa kuat mengelabui rakyat dialah yang berkuasa (dengan berbagai infrastruktur penunjang terutama media yang jauh dari kejujuran), bukan mana yang benar maupun baik atau siapa kelompok yang salah atau jahat. Dua kelompok elit politik yang berhadapan saat kampanye untuk berebut kekuasaan, masyarakat yang cerdas akan memahami hal ini. Untuk para mendukung, sejauhmana kepentingan logis yang dapat diambil, misal jabatan elit, bisnis, ketenaran atau malah mata gelap kekuasaan lain (ini biasa/jamak), dan masyarakat hanya dijadikan tunggangan kekuasaan.
Artinya kita sebagai penonton jangan terbuai arus mengidolakan elit tertentu, berikan idola tersebut kritik pedas untuk mengingatkan janji kampanye yang telah disampaikan. Terus terang saya sangat tidak setuju kalau Presiden Jokowi untuk digoyang atau dijatuhkan, karena ini akan menjadi preseden buruk dimasa depan ketika pemerintahaan lemah malah diganggu. Saya justru melihat bahwa kekuatan internal (kekuasaan elit maupun yang berada dalam pemerintahan) malah mengancam kejatuhan Jokowi dibanding pihak luar (oposisi kadang tidak relevan lagi). Kekuatan internal kekuasaan ini yang justru secara terang benderang memberlakukan Kebijakan/Keputusan Hukum Rimbakarena Presiden Jokowi terlihat sangat lemah mengontrol dan mengawasi bawahannya. Sesuai dengan UU, Wapres akan menggantikan Presiden jika diturunkan, tetapi ini sebetulnya hanya memuaskan sekelompok elit haus kekuasaan yang justru menyengsarakan rakyat banyak yang hidupnya telah susah.Semoga para pembaca dengan bijak menangkap atau memahami tulisan ini, Wallahualam………..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H