Mohon tunggu...
Moenir
Moenir Mohon Tunggu... Administrasi - Rakyat Biasa

Seorang pembelajar, lahir dan besar di kota Malang, kota pelajar, kota santri, sekaligus kota sepakbola..

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

ISL, LPI, Merger Or No?

18 Juli 2011   07:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Beberapa saat terakhir ini, di social media sedang ramai di bicarakan pro dan kontra wacana merger antara klub Liga Super Indonesia (LSI/ISL) dan Liga Primer Indonesia (LPI).  Wacana ini bermula dari pernyataan Komisaris Persebaya 1927 yang juga salah satu penggagas LPI Saleh Mukaddar sebagaimana dilansir oleh Tempo Interaktif. Dalam wawancaranya Saleh Mukaddar menyampaikan "Pasti (LPI) dihentikan. FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara," dan sebagai gantinya PSSI segera membentuk liga baru untuk penggabungan ISL dan LPI. Lebih lanjut saleh mengungkapkan bahwa  bagi daerah yang telah memiliki klub yang sudah berbentuk PT, maka penggabungan akan mudah dilakukan. Misalnya Persipura akan digabung dengan Cendrawasih FC, kemudian Semen Padang dengan Kabau Padang, Jakarta FC dengan Persija, Batavia Union dengan Persitara, Persib dengan Bandung FC, dan PSB dengan Bogoraya.

Yang menarik dari wawancara diatas adalah ketika Saleh (disebutkan di berita) sebagai salah satu penggagas LPI mengatakan bahwa "FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara". Pernyataan tersebut tentunya menjadi tanda tanya yang amat besar bagi kita semua, kalau memang beliau memahami bahwa FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara, lantas dengan pertimbangan apa beliau menggagas liga ketika sudah ada liga yang berjalan?.

Wacana penggabungan 2 atau beberapa club yang berada dalam satu kota dan berada dalam liga yang berbeda ini tentunya menarik perdebatan pro dan kontra. Sebelumnya, team Promosi Persiba Bantul dengan tegas menolak wacana penggabungan ini sebagaimana dilansir dalam web komunitas suporternya Paserbumi Online disampaikan melalui Wakil Manager bidang Operasional, Bagus Nur Edi Wijaya, secara tegas menolak. “Ini masalah rasa keadilan. Persiba butuh 10 tahun, dari Divisi III untuk bisa masuk ISL. Belum lagi puluhan Milyar Rupiah dana yang kita habiskan hingga sekarang,” ujar Bagus, Senin (11/7). Dari sisi keadilan memang jelas amat timpang. Bagaimana mungkin, tim yang baru kemarin sore berdiri, ujug-ujug masuk ke kasta tertinggi Sepakbola Indonesia. Seakan tak sebanding bila mengingat keringat, darah hingga cidera para pemain yang telah membela skuad Laskar Sultan Agung. Penolakan lain juga disamaikan oleh komunitas suporter pendukung Sriwijaya FC, yaitu Singamania melalui akun twitternya @SingaManiaSFC Hrs ada jalan keluar yg terbaik utk kompetisi di tanah air,wacana merger sangat tidak relevan & mencederai semangat sportivitas dlm olahraga. Sedangkan komunitas suporter JakMania pendukung Persija Jakarta melalui akun twitternya @JakOnline juga dengan tegas melakukan penolakan terhadap wacana merger ini.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (PerMenDagri) No. 1 Tahun 2011 tentang APBD yang mengatur pelarangan alokasi APBD untuk Club Sepak Bola menjadi salah satu pertimbangan lain disamping adanya larangan dua liga dalam satu federasi. Sebelumnya pada tahun 2006 juga sudah dikeluarkan peraturan sejenis dengan bahasa yang kurang lugas. Artinya bahwa sosialisasi dari pelarangan dana APBD untuk Club Sepakbola telah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Sehingga diyakini club juga sudah melakukan persiapan-persiapan dalam rangka pelaksanaan peraturan tersebut. Mayoritas club ISL yang memang masih menggunakan dana APBD sebenarnya perlahan-lahan sudah mulai berkurang. Pada musim kompetisi 2010/2011 club non APBD bertambah satu lagi dengan masuknya Semen Padang sebagai team promosi. Sementara itu, disamping Arema Indonesia yang sejak awal berdirinya  tidak pernah menggunakan dana APBD, Persib Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabatnya juga sudah melakukan upaya-upaya untuk lepas dari cengkraman APBD, belum lagi Pelita Jaya Karawang yang juga alumni Galatama juga sudah sejak lama tidak menggunakan dana APBD. Artinya, dalam kondisi yang berubah, sebagaimana makhluk hidup, club akan melakukan berbagai macam penyesuaian dan usaha untuk tetap survive, sebagaimana teori Charles Darwin yang berlaku untuk makhluk hidup, pada club pun perilaku dan kebiasaan akan mengalami perubahan. Terlebih lagi bagi club2 yang memiliki basis suporter kuat seperti Persija Jakarta, Persiba Bantul yang baru lolos promosi, Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, Semen Padang, dan hampir seluruh club peserta ISL lainnya.

Suporter adalah stake holder sesungguhnya dalam dunia sepakbola. Dalam wacana sepakbola Industri, antusiasme suporter adalah kebutuhan yang mutlak. Lihat saja club2 dari negara industri sepakbola maju seperti Inggris. Liverpool, Arsenal, Manchester United, dan club2 lainnya dari Premiere League ketika jeda kompetisi melakukan tour/kunjungan ke beberapa negara diluar benuanya untuk melakukan kunjungan dan penguatan basis-basis suporternya yang ada di luar Inggris dan Eropa. Dapat dimaklumi bahwa dari penjualan hak siar televisi, penjualan merchandise, club bisa mendapatkan pemasukan yang cukup besar disamping dari penjualan tiket stadion. Dengan demikian dapat ditarik satu benang biru bahwa Besarnya dukungan suporter akan berbanding lurus dengan besarnya potensi bisnis. Perencanaan bisnis yang seksama, strategi penggalian pos-pos pemasukan melalui berbagi sektor, upaya-upaya untuk menggaet sponsor dan sumber pemasukan lainnya memang perlu disusun secara cermat dan sistematis. Namun secermat dan sistematis apapun, hal tersebut dilakukan,jika tidak memiliki pasar akan percuma saja. Dalam dunia industri sepakbola, Suporter adalah pasar.

Konsep industrialisasi sepakbola yang ditawarkan oleh LPI memang menarik, proporsi pembagian saham Liga,  dana sponsorship, hak siar televisi dan berbagai potensi pemasukan lainnya yang lebih berat kepada Club memberikan rasa adil bagi masing-masing club, karena bagaimanapun juga dalam piramida suatu liga, yang mengeluarkan biaya besar adalah club. Club membutuhkan biaya untuk mengontrak dan menggaji pemain, operasional pertandingan home dan away, an biaya-biaya lainnya. Oleh karena itu, proporsi pembagian pemasukan dengan lebih besar kepada club adalah suatu hal yang menarik. Namun yang patut dipertanyakan adalah dengan basis massa penonton yang tidak besar seberapa besarkan pemasukan yang didapatkan? Berbeda dengan ISL yang data penonton langsungnya selalu terupdate setiap pertandingan, hingga putaran pertama usai, statistik data penonton masih belum dapat disimak di web resmi LPI . Namun dari pertandingan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi Indosiar pada putaran pertama yang lalu, dapat disimak bahwa selain pertandingan home Persebaya 1927, PSM Makassar, Persibo Bojonegoro dan Bali Devata dapat disaksikan bahwa rata-rata kurang dari 10% kapasitas stadion terisi. Bahkan Persema Malang sampai menghadirkan Cheer Leader untuk memberikan daya tarik tontonan, namun hal tersebut masih belum mampu mengundang penonton lebih banyak ke Stadion.

Bisnis Sepakbola bukanlah bisnis olah raga, namun bisnis tontonan. Olah Raga Sepakbola adalah sportifitas, bukan bisnis. Yang dibisniskan adalah tontonan dan hiburannya. Oleh karena itu, faktor penonton baik yang datang langsung ke stadion maupun melalui televisi adalah hal yang sangat penting. Seberapa besar jumlah penonton dan penggemar sebuah club akan menjadi bahan pertimbangan yang mendasar bagi pihak investor dan sponsorship untuk bekerjasama, hal ini menjadi hal yang sangat bisa dimaklumi karena akan terkait dengan seberapa besar branding sponsor mereka akan terpasarkan. Memberikan investasi ataupun pinjaman kepada club pun juga akan mempertimbangkan faktor sponsorship. Lihat saja bagaimana kekhawatiran komunitas Persibo Bojonegoro (Boromania) yang disampaian dalam tweetnya "@Bor0_Mania Persibo masuk LPI sudah Profesional? "saya" kira belum. Lepas dari APBD tetapi masih memakai pinjaman konsorium. " (Tweet 17 Juli jam sekitar 23.00), menjawab pertanyaan followernya, lebih lanjut mereka menyatakan "@Boro_Mania @super26hery Persibo dapat pinjaman kurang lebih 25 M, bagaimana bisa mengembalikan duit segitu padahal penonton di stadion berkurang." Dari hal tersebut dapat disimak bahwa ada kekurangcermatan dalam merencanakan strategi bisnis dan investasi LPI kepada masing2 club.

Disamping itu, permasalah juga akan dihadapi oleh kubu LPI dan masing-masing clubnya jika wacana merger direalisasikan. Sebagaimana disampaikan di awal peluncuran liga bahwa kontrak pemain oleh club mengacu pada kontrak pemain di negara-negara maju, yaitu dengan menggunakan kontrak jangka panjang (lebih dari 1 musim). Disamping itu, putaran penuh kompetisi yang belum rampung tentunya juga masih meninggalkan kewajiban-kewajiban kepada pihak sponsorship dan stasiun televisi penyiar yang tentunya sebelumnya juga sudah melakukan kontrak secara profesional, dan sebagai liga profesional tentunya durasi kontraknya juga tidak mungkin kurang dari satu musim. Terlebih lagi kontrak dengan sponsor-sponsor besar seperti Coca Cola, Microsoft, dan perusahaan kelas dunia lainnya yang bisa dipastikan memiliki jajaran team legal yang kuat dan berpengalaman, sehingga tidak mungkin asal dan memiliki celah hukum yang mudah untuk diakali dalam menyusun kontrak.

Besarnya pinjaman keuangan yang diberikan oleh konsorsium LPI kepada club yang begitu besar juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bahkan oleh komunitas suporter peserta kompetisi LPI. Hal ini tentunya juga akan menjadi pertanyaan jika dilakukan merger, apakah pinjaman itu juga akan turut menjadi kewajiban bersama atau sepeti apa? Jika profesionalisme dan kemandirian yang dikedepankan, maka tanpa dilakukan merger, jajaran kepengurusan PSSI Baru yang diisi oleh kalangan intelektual dan akademisi tentunya memiliki segudang pengalaman untuk melakukan pelatihan dan transformasi wacana terkait dengan pengelolaan club berbasis industri kepada masing-masing club, disamping itu juga dengan melakukan perubahan system kompetisi yang selama ini berlaku di ISL, melakukan pendampingan dan supervisi kepada masing-masing club untuk bisa menuju club yang mandiri. Proses edukasi dan advokasi adalah proses yang biasa direncanakan dan dijalankan oleh akademisi, oleh karena itu, saya yakin bahwa wacana merger yang merupakan pemikiran yang dangkal dan kurang mendasar akan menjadi wacana yang tidak akan masu ke dalam kerangka berfikir para kaum akademisi yang berada di jajaran pengurus teras PSSI Baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun