Perjumpaan saya dan guru saya waktu SMP di Lapo Lexa dua hari yang lalu rasanya meninggalkan bekas positif sekaligus mendidik. Dulu, posisi kami masih sebatas antara guru dan murid, sekarang berubah menjadi guru senior dan guru junior. Kendati demikian, saya sejak dulu hingga kini selalu menaruh simpati dan rasa hormat yang tinggi untuk beliau meski sudah berada pada posisi yang sama. Karena sejatinya, guru memang harus selalu dipermuliakan meski sudah ujur dan tua.
Beliau adalah Pak Norbet Manalu, yang dulu sering kami juluki Pak NM -- diambil dari singkatan namanya. Waktu saya SMP, setiap guru memang biasa kami juluki dengan singkatan, tak ada maksud selain, selain hanya untuk mudah diingat dan dihafal. Entahlah kalau sekarang. Sampai sekarang pun, saya masih ingat betul semua nama-nama guru saya waktu SMP.
Namun sayang, guru SMP saya tak semua lagi ada, ada sebagian yang sudah pindah tugas, ada juga yang sudah terlebih dahulu dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan tanpa ada maksud membeda-bedakan, karena bagi saya semua memang berkesan karena sudah mendidik saya, Pak Manalu, Pak JP (Kepala Sekolah pada masa saya) dan Pak JS (Guru Matematika) lah yang paling berkesan dan membekas dihati saya. Didikan mereka terasa hingga sekarang. Bahkan, kalau boleh jujur, karena mereka -- mereka juga, salah satu sebab kenapa saya menjadi guru.
Kembali dengan diskusi kami di Lapo itu. Seperti biasa, Pak Manalu  memulai diskusi. Pertanyaannya sedikit tajam, tapi menohok. Katanya,'kutanya lah kalian, siapa lah diantara kalian yang sudah membaca buku hari ini'. Jujur, saya sedikitpun tidak terbayang dalam otakku kalau Pak Manalu akan mengeluarkan pertanyaan setajam itu. Seketika kami menjadi hening, diam. Kami kala itu berada di meja nomor dua. Ada empat orang. Saya, Prima Manalu, Pak Manalu, dan Lae Sinaga.
"Aku baca tulang, tapi dari hape saja, bukan buku" jawabku. Sedang dua teman lainnya diam tanpa menjawab.
"Itulah kelemahan kita sebenarnya" lanjut beliau, "Kalau di Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, mereka dalam setahun bisa menuntaskan puluhan bahkan ratusan judul buku dalam setahun, lah kita, satu saja setahun juga kadang tidak" jelasnya sambil sedikit tertawa.
Mendengar penjelasan beliau, saya seperti tersadar kembali untuk segera menuntaskan bacaan-bacaanku yang sudah lama tertunda. Di Lapo Lexa memang ada empat meja berjejer rapi. Di meja pertama, ada beberapa doli-doli bernyanyi diiringgi alunan gitar, sambil tuak tersaji di hadapan mereka. Sedang di meja tiga, ada beberapa bapak-bapak yang sedang asik cerita-cerita sambil minum tuak juga. Sedang di meja empat, tidak terlalu banyak, tapi ada pemilik Lapo sedang asik nonton dengan beberapa bapak-bapak.
Tanpa banyak membantah dan berdebat, diskusi pun kembali kami lanjutkan.Â
"Jadi menurut saya, sistem pendidikan kita ini sudah rusak, amburadul. Menteri pendidikan yang baru ini juga sedikit 'arogan' dan terburu-buru mengambil keputusan " tambahnya lagi.
"Arogannya dimana, Tulang"