"Dengarlah ya, pertama, menghapus Ujian Nasional. Padahal UN ini kan perlu dibuat supaya ada standar pendidikan kita. Kalaupun ada kecurangan dan ketidakjujuran yang ditimbulkan UN ini, maka di satuan pendidikan yang harus dilakukan pengawasan secara ketat agar UN betul-betul berlangsung dengan jujur dan menjungjung integritas"
"Kedua, wacana menghapus mapel Bahasa Inggris. Ini juga blunder menurutku. Padahal Bahasa Inggris bahasa Internasional. Bagaimana bisa murid hanya dititikberatkan belajar dari android? Lagian anak-anak di Jakarta beda dengan anak-anak macam di Papua dan daerah pedalaman lainnya. Tidak boleh disamaratakan" katanya.
Kami bertiga hanya bisa mengangguk sambil sesekali meneguk tuak yang ada di gelas kami. Kami ibarat seperti berada di ruang kuliah lagi menerima materi yang sangat bernas dan mendidik.
"Jadi apa kira-kira solusi untuk pendidikan kita sekarang, Tulang" tanyaku seolah menyelidik.
"Menurut buku yang saya baca dan pengalaman saya menjadi guru, beban mata pelajaran di sekolah harus dikurangi. Ini sebenarnya sangat penting. Supaya anak-anak tidak terlalu stres dengan banyaknya mata pelajaran yang sebenarnya kurang berdampak dengan kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya masuk jam 07.30 bisa pulang jam 12.00, lalu selebihnya mereka bisa bermain dan membantu keluarganya"
Sekali lagi, kekaguman saya dari dulu dengan pemikiran beliau tidak pernah pudar. Analisisnya tentang pendidikan selalu tajam. Pengetahuannya dan pengalamannya telah membentuk beliau menjadi guru dan pemikir yang mumpuni di kampung kami. Bahkan kedisiplinan dan konsistensinya terhadap waktu dan komitmen tidak bisa ditawar-tawar. Hematku, dia adalah guru yang memberi teladan lewat perkataan dan perbuataan. Seingat saya, waktu saya SMP pun dia bahkan hampir tidak pernah telat datang ke dalam kelas. Guru terdisiplin menurutku kala itu. Menariknya, sampai sekarang pun begitu. Selalu disiplin dengan waktu.
Sharing ilmu dan pengalaman dengan beliau kala  itu bagi saya menjadi sangat berkesan dan menarik. Makanya kalau saya di Lapo, lebih suka ikut nimbrung dengan topik-topik yang mendidik dan membangun ketimbang membicarakan topik untuk menyudutkan dan menyerang pihak tertentu. Narasi-narasi positif seperti itu harus dibangun dan dibudayakan di desa. Itu yang harus dilakukan agar desa bisa terbangun dari segala ketertinggalannya. Karena sesungguhnya masa depan ada di desa, orang-orang hebat lahir dari desa. Sehat dan panjang umur, Pak Manalu***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H