Zaman dulu orang menabung dengan cara menaruh uang di bawah bantal atau melalui bambu yang dilubangi. Lantas mulai muncul gerabah dengan bentuk ayam atau binatang lain untuk menyimpan uang.
Saat dibutuhkan, bambu atau gerabah dari tanah liat tersebut dipecah. Uangnya bisa dibelanjakan sesuai kebutuhan.
Namun dengan perkembangan teknologi, penyimpanan uang pun semakin canggih. Kehadiran perbankan mampu mengubah gaya hidup masyarakat dalam menyimpan uang.
Saat itu dan bahkan saat ini masih terjadi, kita harus datang ke perbankan untuk melakukan transaksi keuangan. Namun di era teknologi seperti saat ini, masyarakat pun bebas bertransaksi melalui perangkat ponsel atau gawai (gadget) lainnya yang dimiliki.
Semua bisa dilakukan sambil kita tidur di rumah atau sambil nongkrong di kafe. Semua urusan perbankan kita beres.
Namun akankah itu berlangsung selamanya? Tidak. Saat ini, industri perbankan mulai terusik dengan kehadiran financial technology. Apa itu?
Berdasarkan Wikipedia, financial technology (fintech) yakni sebuah industri yang menyediakan layanan keuangan lebih efisien. Bentuk perusahaan ini umumnya sebuah perusahaan rintisan (startup) yang mencoba mengurangi interaksi secara langsung sekaligus menantang perusahaan tradisional yang kurang bergantung pada perangkat lunak.
Executive Vice President Information Technology Bank Central Asia (BCA) Hermawan Thendean mengatakan, fintech mirip seperti perbankan. Bedanya mengurangi interaksi langsung antara fintech dan konsumen. “Sekarang ini mereka merajai. Ini suatu alarm. Kita tidak bisa tutup mata, harus melakukan sesuatu dan sekarang juga,” katanya.
Lantas apa yang bisa dilakukan perbankan untuk mengantisipasi lonjakan animo masyarakat terhadap layanan fintech?
“Kuncinya, kami harus berinovasi.”
Kenapa harus inovasi? supaya perusahaan terus ada (eksis). Kalau inovasi yang dilakukan perbankan bagus akan memberi dampak positif. Begitu sebaliknya.