Sebenarnya penolakan ojek aplikasi ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Bali juga terjadi penolakan GrabTaxi karena pengusaha penyewaan mobil menjadi kurang laku.
Saat mengantar dari ICE BSD City ke Stasiun Serpong, pengojek online tersebut terus bercerita suka duka menjadi pengojek, termasuk ketakutannya saat berhadapan dengan ojek pangkalan. “Intinya, kita sama-sama cari rezeki. Saya juga tidak berniat mengambil rezeki mereka,” katanya.
Saat tiba di Stasiun Serpong, pengemudi Go-Jek tersebut justru menurunkan saya di dekat pangkalan ojek. Tatapan sinis pengojek pangkalan tersebut sudah terjadi sejak melihat helm dan jaket hijau. “Habis ini langsung cabut ya. Jangan ambil penumpang dari sini,” kata pengojek pangkalan tersebut sambil memberi tanda mengusir.
Sopir Go-Jek yang mengantarku tersebut hanya mengangguk dan memutar sepeda motornya. Mereka langsung berlalu, hilang dari pangkalan ojek.
Saya teringat kata-kata dari Novel Filosofi Kopi karya Ibu Suri Dee Lestari di halaman 42. Hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar.
Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus. Kamu, tidak terkecuali kamu, sang pengojek pangkalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H