Siswa yang beragama Kristen, yang jumlahnya tak banyak di sekolah tempat saya mengajar, juga melaksanakan aktivitas yang serupa. Yaitu, membaca Alkitab.
Mereka juga tak boleh membaca Alkitab di gawai sekalipun ada aplikasi Alkitab. Itu sebabnya, mereka harus membawa Alkitab yang berwujud buku. Aktivitas membaca Alkitab dilaksanakan di ruang tersendiri.
Mereka dijadikan satu kumpulan, karena memang jumlahnya tak banyak. Dan, ini pun siswa campuran dari Kelas VII, VIII, hingga Kelas IX. Aktivitas ini dibersamai oleh guru. Saya sendiri dan bergantian dengan guru mata pelajaran (mapel) Pendidikan Agama Kristen.
Pola membaca Alkitab dilaksanakan secara berbeda dengan siswa yang bertadarus. Sebab, jumlahnya yang tak banyak, memungkinkan setiap siswa membaca secara bergantian. Urut berdasarkan urutan ayat dalam Alkitab.
Saat satu siswa membaca, siswa yang lain menyimak dan merenungkan ayat yang dibaca serta menandai bagian yang dibaca. Ayat selanjutnya, dibaca oleh siswa berikutnya, urut sesuai posisi duduk siswa yang sudah diatur sedemikian rupa.
Pada saat berganti siswa yang membaca, siswa yang lain juga menyimak dan merenungkan ayat termaksud. Jadi, semua siswa selalu fokus saat pembacaan ayat dalam Alkitab berlangsung.
Di dalam semuanya ini, pada waktu yang bersamaan terlaksana dua aktivitas yang berbeda, tetapi beresensi sama. Yaitu, sama-sama meningkatkan iman percaya setiap siswa kepada Sang Khalik sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Hal ini sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yang sebagiannya berbunyi, "...bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,...".
Baik siswa yang beragama Islam maupun yang beragama Kristen --seandainya ada siswa yang beragama lain pun-- akan terkondisikan ke dalam membangun kedekatan dengan Sang Khalik melalui aktivitas keagamaan, di antaranya seperti yang diuraikan di catatan ini.
Sekolah tak hanya membangun ilmu pengetahuan siswa. Tetapi, juga membangun karakter dan moral mereka. Sebab, dua dimensi dalam diri manusia, yaitu ilmu dan moral, perlu dibangun secara seimbang.
Lebih-lebih terhadap generasi muda, yang kelak meneruskan estafet kepemimpinan di negeri ini. Perihal pendidikan moral, tentu semua sepakat, tak lebih rendah daripada pendidikan keilmuan.