Diksi "dihargai" umumnya lebih melekat terhadap relasi sosial. Hubungan satu orang dengan orang lain. Agar relasi tetap nyaman  antarmereka, sikap harga-menghargai dijadikan sebagai gaya hidup dalam relasi sosial.
Sebab, secara umum, orang ingin dihargai. Ketika seseorang merasa dirinya dihargai, ia pun menghargai orang termaksud. Sehingga, relasi sosial antar keduanya sudah pasti nyaman dan membahagiakan.
Tapi, dalam konteks yang lain, ada juga ternyata, sekalipun tak sosok orang, namun membutuhkan penghargaan. Karena, jika dalam konteks ini sikap menghargai tak dilakukan (akan) berdampak buruk. Dampak buruk ini dapat menimpa banyak pihak, termasuk orang.
Sosok itu adalah bahasa. Bahasa, terutama bahasa yang bersifat memberitahukan, baik yang ditujukan kepada publik maupun individu, merupakan bagian dari eksistensi relasi sosial yang perlu dihargai. Agar, tercipta suasana yang nyaman, aman, dan tentu membahagiakan, baik bagi diri sendiri maupun sesama.
Adanya catatan ini dipantik oleh pajangan papan pemberitahuan --yang berwujud bahasa-- yang dibuat oleh pemerintah. Yaitu, tentang larangan berjualan di sekitar area papan termaksud. Tapi, di area ini masih banyak penjual.
Saya melihatnya sendiri. Bahkan, saya mendekatinya. Untuk memastikan. Dan, benar.
Karena tertarik untuk mengambil gambar, saya memotret area ini dengan gawai. Hasil memotret saya jadikan dokumentasi.
Tapi, beruntung. Sebab, pada saat lain ketika saya menggeser-geser untuk melihat-lihat beberapa hasil memotret dari beberapa objek di dalam gawai, tetiba saya tertarik untuk membuat catatan berdasarkan potret yang satu ini.
Dan, Â potret ini membuka pikiran dan ingatan saya pada masa lalu, yang ternyata semakin menguatkan saya perlu membuat catatan ini.
Sebab, ada banyak fenomena yang sekalipun berbeda, tapi mengarah ke satu kasus yang sejenis. Yaitu, bahasa yang tak dihargai. Misalnya, sering saya, mungkin juga Anda, menemukannya di persimpangan traffic light.