Kepada Nasrani Sejati
Itu Tubuh/mengucur darah/mengucur darah//rubuh/patah//mendampar tanya: aku salah?//kulihat Tubuh mengucur darah/aku berkaca dalam darah//terbayang terang di mata masa/bertukar rupa ini segara//mengatup luka//aku bersuka//Itu Tubuh/mengucur darah/mengucur darah//
Saya mengutip puisi di atas, yaitu puisi karya Chairil Anwar, karena tergoda oleh semacam permintaan teman lewat grup WhatsApp agar, di antaranya, saya mengulasnya. Tapi, saya ragu saat membaca "permintaan" itu. Apa saya bisa?
Sebenarnya, teman saya menyampaikan maksud ini sah-sah saja. Sebab, "permintaan" ini disampaikan pada masa raya Paskah. Dan, "Isa", puisi Chairil ini, sejauh saya tahu, dimengerti oleh berbagai kalangan berkaitan dengan konteks masa penderitaan Yesus.
Hanya, kurang, atau bahkan tak sah, sepertinya, "permintaan" ini  diarahkan kepada saya. Sebab, saya tak pernah mengulas puisi. Mengulas puisi, sekurang-kurangnya,  membutuhkan intuisi. Sementara, saya tak memiliki intuisi yang dibutuhkan dalam mengulas puisi.
Apalagi puisi yang diajukan adalah "Isa", puisi yang ditulis oleh penulisnya pada 1943, yang jika diukur dari sisi waktu, demikian jauh dengan waktu sekarang. Artinya, konteks waktu, situasi, dan kondisi, atau mungkin yang lainnya, (sangat) berbeda dengan konteks masa kini.
Namun, pertanyaan "apa saya bisa?", yang intinya saya hendak menolak, sebetulnya, justru menggelisahkan saya. Saya akhirnya --mau tak mau-- membaca-baca puisi termaksud. Berulang-ulang. Dan, sedikit-sedikit mencoba merenungkannya.
Untuk menambah kekuatan renungan, saya menelusur di google mengenai puisi ini. Saya, lalu, Â mengetikkan kata kunci di kotak penelusuran google, begini, "puisi Isa karya Chairil Anwar". Dan, muncullah hasil penelusuran.
Saya, Â lantas, tertarik mengeklik satu hasil penelusuran, yang ada di urutan kedua teratas, yaitu web Alif.ID, yang menerakan judul tulisan "Puisi 'Isa' dan Perlintasan Spiritual Chairil", yang setelah saya klik, terlihat artikel karya Hairus Salim H.S., Esais, bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing, Jogjakarta (alif.id, 29/12/2022).
Saya, kemudian, membaca artikel ini. Poin penting artikel ini setidak-tidaknya sebagai berikut. Hairus melalui larik-larik puisi "Isa", menemukan kedalaman batin Chairil, yang  muslim, dalam menghayati peristiwa penyaliban Yesus.
Disebutkan, Chairil menghayati penyaliban Yesus dengan cara berpikir kristiani. Sebab, meskipun judul puisinya, "Isa", namun Chairil memandang yang disalib adalah sosok seperti yang  diyakini umat kristiani, yaitu Yesus, bukan Isa. Karena, oleh pemikiran umat muslim, Isa tak disalib karena digantikan oleh orang yang mirip dengan Isa.