Dalam konteks demikian, sanggar olahraga pun tak main-main dalam menyiapkan siswa binaannya. Mereka pasti serius seserius sekolah menyiapkan siswanya. Karena, kemenangan yang diraih siswa berarti juga kemenangan sanggar olahraga tersebut. Hal ini menaikkan brand.
Semakin memiliki brand yang terkenal, semakin pula diakui dan diminati oleh masyarakat. Keuntungan, dengan demikian, sudah berada di depan mata. Maka, baik sanggar olahraga maupun sekolah, sekali lagi, tak main-main dalam hal ini.
Sekalipun sedemikian, sanggar olahraga dan sekolah tetap realistis. Artinya, sanggar olahraga dan sekolah tetap mengapresiasi siswanya yang belum meraih kemenangan dalam lomba. Karena, betapa pun, kondisi demikian, tetap memberikan kontribusi positif terhadap sanggar olahraga, sekolah, dan tentu terhadap siswa sendiri.
Sebab, pertama, sanggar olahraga dan sekolah sudah "menyekolahkan" siswanya di ajang lomba Popda. Popda tak sebatas dipahami sebagai ajang untuk meraih kemenangan. Tapi, lebih daripada itu sebagai tempat siswa belajar.
Proses pembelajaran di ajang Popda, juga ajang lomba-lomba yang lain, memberi wawasan baru terhadap siswa. Sebab, siswa berada di lingkungan belajar yang berbeda. Dengan siswa yang berbeda pula. Dari berbagai latar belakang sekolah yang berbeda.
Dan, sangat mungkin, dapat dilihat, didengar, dan didiskusikan keberadaan potensi yang berbeda satu siswa dengan siswa yang lain. Satu sekolah dengan sekolah yang lain. Pembina satu dengan pembina yang lain. Wasit satu dengan wasit yang lain. Semua itu dapat menjadi materi pembelajaran yang baik bagi siswa.
Sekolah dan sanggar olahraga akan mendapatkan siswa yang lebih inklusif dan kaya. Karena mereka mendapatkan pengalaman belajar dari berbagai sumber belajar, yang satu dengan yang lain berbeda. Ini kekayaan yang tak setiap siswa memperolehnya.
Namun, hal demikian ini acapkali kurang dimengerti oleh siswa. Itu sebabnya, guru atau pembina perlu memahamkan kepada siswa. Bahwa mengikuti lomba Popda, tentu juga dalam ajang lomba-lomba yang lain, merupakan ruang belajar baginya.
Pemahaman demikian perlu terus didengungkan kepada siswa. Sehingga, saat mereka pergi lomba di otak mereka sudah terbentuk pengertian yang positif dan produktif. Dan, yang lebih daripada itu agar mereka dalam kondisi fisik dan psikis yang prima.
Lomba yang diikuti lebih sebagai ruang belajar daripada ajang pertandingan. Sebab, belajar akan selalu memperkaya kognitif, psikomotorik, dan afektif. Tapi, pertandingan selalu memunculkan dua dikotomi, yaitu menang dan kalah.
Jika pemahaman yang saya sebutkan terakhir yang dimengerti siswa, sudah pasti mereka menjadi pribadi yang sombong saat menang dan rendah diri saat kalah. Karenanya, sudah saatnya pengertian demikian dihapus dari kalangan siswa.