Pemerintah menargetkan jumlah Guru Penggerak hingga 2024 ada 100 ribu. Hal ini dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo (antaranews.com, 25/11/2023).
Sama persis seperti yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, bahwa pada 2024 Guru Penggerak berjumlah 100 ribu (medcom.id, 26/12/2023).
Hal ini (tentu) tak menjadi masalah. Sebab, target tersebut demi kemajuan pendidikan. Bahkan, perlu disambut dengan sukacita oleh warga bangsa.
Hanya, memang, menambah jumlah Guru Penggerak (seharusnya) perlu dibarengi dengan upaya "menjaga" keberlanjutan spirit Guru Penggerak yang sudah mengimplementasikan pengalaman pelatihannya di sekolah masing-masing.
Kurang arif kalau di satu sisi ada upaya dengan semangat menambah jumlah Guru Penggerak, tapi di sisi lain kurang ada upaya dengan semangat "menjaga" keberlanjutan spirit Guru Penggerak di sekolah.
Kita mafhum bahwa pelatihan Calon Guru Penggerak (CGP) menghabiskan anggaran tak sedikit karena berlangsung selama sembilan bulan. Begitu CGP dinyatakan lulus, mereka akhirnya menjadi Guru Penggerak. Selanjutnya, mereka mempraktikkan pengalaman pelatihannya di sekolah masing-masing.
Upaya ini sangat baik. Sebab, ditujukan agar kualitas pembelajaran di sekolah mengalami kemajuan. Yang, dapat dirasakan langsung oleh siswa.
Karena, pada intinya, Guru Penggerak memfasilitasi siswa yang (sangat mungkin) berbeda satu dengan yang lain, tapi dapat sama-sama merasakan proses pembelajaran yang bermakna sehingga kompetensi mereka terangkat.
Begitulah pembelajaran yang berpusat pada siswa yang harus dikembangkan oleh Guru Penggerak di sekolah.
Maka, keberlanjutan spirit Guru Penggerak perlu tetap terjaga. Agar, bangsa (pemerintah dan masyarakat) yang sudah mengelola dan menyediakan anggaran dalam nilai yang tak sedikit itu tak sia-sia.